Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Sederet Industri di Ujung Tanduk Tersengat Tarif Trump 32%

Pemberlakuan tarif Trump sebesar 32% terhadap Indonesia telah menimbulkan kekhawatiran bagi sejumlah pelaku industri di Indonesia. Apa saja dampaknya?
Karyawan beraktivitas di salah satu pabrik di Jawa Barat. Bisnis/Bisnis
Karyawan beraktivitas di salah satu pabrik di Jawa Barat. Bisnis/Bisnis

Bisnis.com, JAKARTA — Keputusan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump menerapkan tarif impor 32% atas barang-barang asal Indonesia telah menimbulkan kekhawatiran bagi pelaku industri di Tanah Air.

Pasalnya, tarif yang dikenakan AS terhadap RI masih lebih tinggi jika dibandingkan negara pesaing seperti Malaysia, Vietnam, Jepang hingga Korea Selatan dengan kisaran 20%—25%. Kondisi ini dapat memukul daya saing produk industri lokal di pasar AS.

Sejumlah industri pun diperkirakan bakal sangat terdampak kebijakan Tarif Trump seperti industri alas kaki, elektronik, tekstil hingga furnitur.

Jika merujuk data Badan Pusat Statistik (BPS) periode Januari-Mei 2025, terdapat sejumlah komoditas yang paling banyak di ekspor ke AS seperti mesin dan perlengkapan elektrik (HS 85) senilai US$2,2 miliar atau berkontribusi 18,34% terhadap total ekspor nonmigas ke negara tersebut.

Tak hanya itu, ekspor alas kaki (HS 64) menempati posisi kedua dengan nilai mencapai US$1,08 miliar, serta pakaian dan aksesorisnya (HS 61) senilai US$1,02 miliar. Sektor ini yang disebut akan terpukul dengan kebijakan tarif Trump.

Direktur Eksekutif Asosiasi Persepatuan Indonesia (Aprisindo) Yoseph Billie Dosiwoda mengatakan pihaknya terkejut dengan surat keputusan tarif yang dikirimkan Presiden AS Trump kepada Indonesia. Pasalnya, tarif yang dikenakan tidak berubah dari sebelum proses negosiasi yakni sebesar 32%.

Sebelumnya, pengusaha mengaku masih wait and see menantikan hasil dari negosiasi pemerintah Indonesia ke AS selama 90 hari untuk menurunkan tarif tersebut.

“Yang diterapkan selama ini adalah 10% dan ini sampai akhir Juli, setelah tanggal 1 Agustus 2025 akan berlaku 32%. Sebab Vietnam berhasil dengan kesepakatan dengan AS di angka 20% yang lebih rendah,” kata Billie kepada Bisnis, Rabu (9/7/2025).

Sebagai industri padat karya yang menyerap banyak tenaga kerja, keberlangsungan industri sangat dipengaruhi berbagai faktor internal dan eksternal dan tarif resiprokal AS sebagai faktor eksternal yang sangat berdampak.

Dalam catatan Aprisindo, angka ekspor alas kaki pada 2024 mencapai US$2,3 miliar atau berada pada kondisi relatif baik walau naik dan turun dari tahun sebelumnya.

AS merupakan pasar utama dari produk tekstil dan alas kaki Indonesia dengan pangsa pasar masing-masing sebesar 40,6% dan 34,2% pada 2024.

Nyaris setengah dari ekspor produk tekstil dan sepertiga ekspor alas kaki bergantung pada permintaan AS. Adapun, 95% ekspor tekstil dan alas kaki ke AS merupakan produk pakaian jadi.

“Memang ini belum berlaku final sampai 1 Agustus 2025 dengan 32%. Kami Aprisindo masih mendukung menaruh keyakinan harapan besar dari upaya negosiasi yang dilakukan Pemerintah Indonesia,” jelasnya.

Risiko PHK

Saat ini, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto berada di Washington DC AS untuk membicarakan perihal negosiasi tarif impor tinggi dengan Kementerian Perdagangan AS dan Presiden Trump dengan posisi tawar-menawar (barganining position).

Dari proses sebelumnya yang dilakukan Pemerintah Indonesia, pihaknya mendukung upaya pemerintah dengan peluang tarif yang dihasilkan agar bisa lebih rendah dari saat ini yang berlaku sementara 10%. Sebab, tarif 10% selama 90 hari ini dinilai berat meskipun dianggap stabil untuk keberlangsungan proses produksi alas kaki di Indonesia.

“Sama seperti keadaan saat 90 hari yang lalu di 2 April 2025 kalau berlaku 32% yang tidak kita harapkan terjadi. Anggota Aprisindo akan menghitung segala margin dampak buruk dari penerapan tarif ini agar tetap berlangsung proses produksi dan agar tidak terjadi PHK,” tuturnya.

Aprisindo turut menyoroti tarif Vietnam yang lebih rendah, sehingga para buyer di AS dikhawatirkan akan mencari harga yang lebih murah dengan kualitas yang sama daripada Indonesia. Hal ini akan memicu turunnya pesanan dan memengaruhi proses produksi.

“Untuk mengantisipasi ini harus dilakukan proteksi pemerintah melalui bantalan APBN berupa program insentif kepada para pelaku industri alas kaki agar proses produksi tetap berjalan yaitu dari diskon 50%+ harga listrik, gas, penghapusan PPN, penangguhan pembayaran BPJS Tenaga Kerja bagi para pekerja dan insentif lainnya secara nyata,” jelasnya.

Aprisindo juga mendorong pemerintah mempercepat perundingan perjanjian dagang FTA (Free Trade Agreement) Indonesia dengan Uni Eropa yaitu IEU-CEPA (Indonesia-European Union Comprehensive Economic Partnership Agreement).

Menurut dia, perjanjian kemitraan ekonomi komprehensif antara Indonesia dan Uni Eropa sebagai akses pasar baru dimana Vietnam juga punya perjanjian serupa dengan Eropa yang lebih dahulu agar Indonesia tidak ketinggalan dari persaingan antar negara dan produksi tetap berjalan baik dan normal.

Peralihan Pasar Ekspor

Senada, Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) mengungkap persiapan pengusaha untuk memperluas pasar ekspor guna mengantisipasi tekanan penurunan permintaan dari Amerika menjelang penetapan tarif resiprokal pada 1 Agustus 2025.

Direktur Eksekutif API Danang Girindrawardana mengatakan, pihaknya saat ini masih dalam tahap menunggu dan melihat (wait and see) atas hasil negosiasi lanjutan yang dilakukan pemerintah Indonesia dengan AS.

“Pengalihan pasar itu secara alami tetap akan terjadi, banyak negara terluka oleh perilaku hegemoni negara-negara besar,” kata Danang kepada Bisnis, Senin (7/7/2025). 

Menurut Danang, pengalihan pasar ekspor pasti terjadi untuk mempertahankan penjualan global. Saat ini, pengusaha TPT dalam negeri mengharapkan keputusan dan hasil negosiasi terbaik yakni pengurangan penerapan tarif yang diterapkan AS sebesar 32% terhadap barang asal Indonesia. 

“Maka jejaring kerja sama ekonomi akan beralih ke negara negara yang lebih bersahabat, juga bisa terjadi karena kompetisi atau perubahan arus supply chain ataupun kebijakan reciprocal tariff,” jelasnya. 

Lebih lanjut, industri furnitur juga disebut akan mengalami penurunan kinerja ekspor imbas kebijakan tarif Trump.

Pasalnya, Amerika Serikat merupakan salah satu pasar terbesar bagi furnitur dan kerajinan Indonesia, dengan kontribusi lebih dari 54% dari total ekspor industri mebel nasional.

Ketua Umum Himki, Abdul Sobur mengatakan industri mebel tak hanya berperan sebagai penyumbang devisa, tetapi juga menyangga keberlangsungan lebih dari 2 juta tenaga kerja yang mayoritas berada di daerah-daerah sentra produksi seperti Jawa Timur, Jawa Barat, dan Jawa Tengah.

“Kami memahami bahwa isu defisit neraca perdagangan menjadi salah satu pertimbangan kebijakan Pemerintah AS di bawah kepemimpinan Presiden Trump. Namun, Himki menilai penanganan persoalan defisit seharusnya dilakukan dengan pendekatan dialog konstruktif, relasi bilateral yang setara, serta negosiasi berbasis kepentingan bersama,” ujar Sobur.

Sebagai gambaran, nilai ekspor mebel Indonesia ke Amerika Serikat pada 2024 diperkirakan lebih dari US$2,5 miliar – US$3 miliar per tahun.

Sobur menilai kebijakan tarif tinggi yang bersifat unilateral justru berpotensi memicu ketidakpastian dan kontraksi di rantai pasok global, yang pada akhirnya juga akan berdampak pada konsumen di pasar Amerika sendiri.

Pihaknya juga mendorong Pemerintah Indonesia melalui saluran diplomasi resmi, baik jalur bilateral maupun multilateral, agar terus berkomunikasi intensif dengan mitra dagang AS untuk membuka ruang peninjauan ulang kebijakan ini.

“Kami berharap pemerintah dapat mengoptimalkan instrumen perundingan dagang yang adil, termasuk mendorong pembukaan pasar investasi di sektor hilir agar sesuai dengan semangat perdagangan berkeadilan,” jelasnya.

Di sisi lain, Himki akan memperkuat daya tahan industri mebel dan kerajinan Indonesia dengan strategi jangka menengah dan panjang yang mencakup diversifikasi pasar ekspor ke negara-negara lain di kawasan Asia, Eropa, dan Timur Tengah, India dan ASEAN.

Selain itu, penguatan branding produk bernilai tambah tinggi; peningkatan efisiensi produksi; dan pembenahan kebijakan hulu-hilir agar rantai pasok semakin berdaya saing.

Halaman
  1. 1
  2. 2

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Bisnis Indonesia Premium.

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Bisnis Indonesia Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper