Bisnis.com, JAKARTA - Pemerintah berencana mengatur pemberlakuan skema satu harga untuk pembelian LPG 3 kg di seluruh daerah guna menghindari praktik kecurangan di lapangan. Namun, wacana baru ini dinilai berisiko membebani PT Pertamina (Persero).
Wacana skema satu harga LPG bersubsidi itu diungkapkan oleh Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia dalam Rapat Dengar Pendapat bersama Komisi XII DPR RI, Rabu (2/7/2025).
Bahlil mengatakan, pemerintah tengah menggodok aturan terkait penetapan harga gas melon tersebut.
Untuk diketahui, berdasarkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 104 Tahun 2007 tentang Penyediaan, Pendistribusian, dan Penetapan Harga LPG Tabung 3 Kg, harga eceran tertinggi (HET) LPG 3 kg ditetapkan oleh pemerintah daerah (pemda) masing-masing.
Namun, penetapan harga oleh Pemda itu harus berdasarkan pedoman dari pemerintah pusat, dalam hal ini Kementerian ESDM dan BPH Migas. Oleh karena itu, besaran HET LPG 3 kg selama ini bisa berbeda-beda di tiap provinsi atau kabupaten/kota.
Bahlil menilai ketentuan tersebut malah menjadi celah untuk oknum memainkan harga LPG 3 kg. Padahal, negara telah menggelontorkan dana subsidi puluhan triliun rupiah.
Baca Juga
"Kami akan ubah beberapa metode agar kebocoran enggak terjadi, termasuk harga yang selama ini diberikan pada daerah, ini ada kemungkinan dalam pembahasan Perpres, kami tentukan saja satu harga, supaya jangan ada gerakan tambahan di bawah," tutur Bahlil.
Bahlil menyebut, pemerintah menggelontorkan biaya subsidi sebesar Rp80 triliun hingga Rp87 triliun per tahun untuk LPG 3 kg.
Untuk itu, pengaturan harga di tingkat penjual pun harus diatur sehingga penerima LPG 3 kg bisa tepat sasaran. Di sisi lain, dana subsidi pun tak membengkak.
"Kalau harga dinaikan terus, antara harapan negara dan apa yang terjadi tidak sinkron," ucap Bahlil.
Penataan penjualan gas melon subsidi itu memang telah lama menjadi perhatian pemerintah lantaran kerap ada kecurangan dalam proses distribusi maupun penjualan.
Sebelumnya, Bahlil mengatakan bahwa masyarakat seharusnya mendapatkan harga LPG paling mahal sekitar Rp19.000 per tabung.
Dia menyebut, harga LPG 3 kg setelah subsidi dari pemerintah adalah Rp12.000 per tabung. Sementara itu, harga sampai di pangkalan resmi hanya mencapai Rp16.000 per tabung.
Adapun, saat ini harga LPG di setiap daerah dibanderol antara Rp18.000 hingga Rp20.000 per tabung.
Dukungan Pengusaha
Sementara itu, Himpunan Wiraswasta Nasional Minyak dan Gas (Hiswana Migas) Sumatra Utara (Sumut) menyatakan siap mendukung rencana pemerintah untuk menyamaratakan harga LPG 3 kg di seluruh daerah.
Sekretaris Hiswana Migas Sumut Suwandi mengatakan, pihaknya masih menunggu perkembangan lebih lanjut atas rencana kebijakan terbaru dari pemerintah pusat ini.
“Karena ini masih rencana, kami masih memantau terus perkembangan informasinya. Tentu kami koordinasi juga dengan Pertamina Patra Niaga Sumbagut [Sumatra bagian utara] selaku operator di sini, serta pemerintah terkait,” ujarnya saat dihubungi Bisnis, Rabu (2/7/2025) malam.
Adapun, di Sumatra Utara, harga eceran tertinggi (HET) gas LPG 3 kg ditetapkan Pemerintah Provinsi (Pemprov) Sumut lewat Keputusan Gubernur yang dikeluarkan pada Juli 2023 lalu, yakni sebesar Rp15.000 per tabung di tingkat agen, sedangkan di pangkalan, harganya Rp17.000 per tabung.
Suwandi tak menampik ada perbedaan harga LPG 3 kg dari pangkalan di sejumlah daerah di Sumut. Di Asahan, misalnya, ada pangkalan yang menjual lebih dari HET yang ditetapkan Gubernur, yakni sebesar Rp17.500 per tabung. Sementara harga gas melon tertinggi di pangkalan yang termasuk wilayah kerja Hiswana Sumut ialah di Kecamatan Gunung Sitember Dairi, mencapai Rp19.500 per tabung.
“Penyebab harga di pangkalan berbeda-beda karena jarak tempuhnya. Patokan penggunaan HET itu maksimal 60 km dari SPPBE [stasiun pengisian dan pengangkutan elpji curah]. Jika lebih jaraknya, harga jual bisa jadi lebih mahal,” katanya.
Pihaknya belum menganalisa lebih jauh terkait dampak dari penerapan satu harga LPG 3 kg yang diklaim dapat mencegah kebocoran penyaluran elpiji bersubsidi. Dia meyakini rencana tersebut sudah pasti baik bagi masyarakat dan menegaskan pihaknya siap melaksanakan program ini jika telah ditetapkan.
“Pada dasarnya kami siap mendukung dan melaksanakan program yang sudah tentu baik ini. Apalagi [distribusi] LPG 3 kg ini, kan, penugasan dari negara, apapun keputusan dari pemerintah tentu kami siap mendukung dan melaksanakan,” ucapnya.
Pertamina Bisa Makin Terbebani
Namun, wacana pemberlakuan LPG 3 kg satu harga mendapat kritik dari praktisi migas Hadi Ismoyo. Dia menilai kebijakan tersebut kurang tepat karena tidak mendidik masyarakat luas terkait biaya logistik.
"Di mana logistic cost dari satu titik ke titik lainnya butuh biaya yang tidak sedikit. Siapa yang akan menanggung cost logistiknya?" ucap Hadi kepada Bisnis, Selasa (2/7/2025).
Mantan sekjen Ikatan Ahli Teknik Perminyakan Indonesia (IATMI) itu tak memungkiri kebijakan populis itu akan sangat membantu masyarakat bawah yang saat ini daya belinya tertekan karena melambatnya pertumbuhan ekonomi.
Namun, kebijakan menjadikan LPG 3 kg satu harga bisa semakin membebani Pertamina. Sebab, perusahaan pelat merah itu kemungkinan akan membayar biaya logistik terlebih dahulu, dibayar kemudian, mirip mekanisme subsidi.
"Ruang fiskal kita juga terbatas, apakah mau ditambah lagi cost logistik di tanggung negara?" imbuh Hadi.
Selain itu, Hadi juga berpendapat kebijakan LPG 3 kg satu harga tidak menjamin dapat memberantas kecurangan di lapangan. Pasalnya, akan selalu ada ketimpangan harga subsidi dan nonsubsidi.
Oleh karena itu, Hadi menilai kecurangan peredaran gas melon di lapangan bisa diatasi dengan membangun sistem IT. Dengan sistem IT, pengawasan data dan monitoring dilakukan Depo Pertamina, Stasiun Pengisian Bulk Elpiji (SPBE), agen, pangkalan, pengecer, konsumen, hingga pengembalian tabung.
"Dengan IT yang demikian berkembang pesat, peredaran tabung LPG 3 kg tersebut harusnya bisa di-mapping time to time, jika tabung tersebut nyasar seharusnya bisa dideteksi. Tinggal niat mau membuat IT yang canggih apa tidak," ucap Hadi.
Di satu sisi, dia pun menyarankan pemerintah untuk mulia memikirkan konversi LPG ke jaringan gas (jargas). Terlebih, RI memiliki pasokan gas yang cukup melimpah.
"Kita punya cukup resources gas. Hanya diperlukan pembangunan infrastruktur gas yang masif dan terintegrasi," katanya.