Salah satu sektor yang paling rentan terdampak adalah tekstil dan produk tekstil (TPT). Dia memperkirakan sekitar 191.000 tenaga kerja berisiko kehilangan pekerjaan.
Di sisi lain, Nailul menegaskan bahwa ancaman ini tidak hanya menyasar sektor formal. Sektor informal seperti petani yang menjadi pemasok bahan baku untuk industri makanan dan minuman juga diprediksi akan terdampak.
Selain itu, sektor kimia dasar dan industri minyak nabati, seperti Crude Palm Oil (CPO), termasuk yang berpotensi terkena imbas. Untuk sektor CPO sendiri, diperkirakan sekitar 28.000 tenaga kerja dapat terdampak PHK.
Nailul menjelaskan, kebijakan tarif Trump membuat harga barang Indonesia menjadi lebih mahal di pasar AS, sehingga permintaan menurun secara signifikan. Apalagi, Indonesia belum memiliki kesiapan untuk segera mengalihkan tujuan ekspor ke negara lain.
“Ketika permintaan menurun, produksi ikut ditekan. Perusahaan kemudian melakukan rasionalisasi produksi, yang pada akhirnya berdampak pada pengurangan tenaga kerja,” jelasnya.
Ekonom dari Universitas Paramadina Wijayanto Samirin menilai pemerintah perlu memperbaiki iklim usaha demi mengatasi maraknya PHK di Tanah Air. Menurutnya, pemerintah perlu memastikan kredit tersedia bagi dunia usaha.
Baca Juga
“Perbaiki iklim usaha melalui deregulasi yang tuntas, mengatur dan membatasi membanjirnya produk impor, dan menekan underground economy dan menghentikan penyelundupan,” sambungnya.
Di samping itu, Wijayanto menambahkan bahwa pemerintah juga perlu memberikan insentif ekonomi, seperti diskon listrik yang perlu dijalankan pada kuartal III/2025. Menurutnya, insentif ini bisa memperbaiki daya beli masyarakat yang melemah.
Selain diskon listrik, menurutnya, pemerintah juga perlu membuat alokasi anggaran lebih untuk program yang mendorong penciptaan lapangan kerja, seperti proyek infrastruktur dan perumahan rakyat padat karya di bawah Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan.
Satgas PHK
Fenomena PHK massal yang belakangan terjadi turut menjadi perhatian Presiden Prabowo Subianto. Pada peringatan Hari Buruh Internasional 2025, Prabowo di hadapan buruh menyatakan bahwa pemerintah akan membentuk Satuan Tugas (Satgas) PHK dan Dewan Kesejahteraan Buruh.
“Kami tidak akan membiarkan pekerja di-PHK seenaknya. Bila perlu, negara akan turun tangan,” kata Prabowo pada Kamis (1/5/2025).
Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) Prasetyo Hadi menyatakan pembentukan satuan tugas pemutusan hubungan kerja (Satgas PHK) tengah memasuki tahapan finalisasi dan akan segera meluncur. Prasetyo mengatakan Satgas PHK akan meluncur bersama dengan Dewan Kesejahteraan Nasional Buruh pada Juli 2025.
“Bulan depan, bulan depan [Juli] InsyaAllah selesai. Satgas PHK dengan Dewan Kesejahteraan Buruh [meluncur],” kata Prasetyo saat ditemui di Kantor Kemenko Pangan, Jakarta, Kamis (26/6/2025).
Nantinya, kata dia, pengurus Satgas PHK akan meluncur pada Juli 2025, atau bersamaan dengan peresmian Satgas PHK dan Dewan Kesejahteraan Buruh.
Respons Buruh
Sementara itu, kalangan buruh yang tergabung dalam Konfederasi Serikat Pekerja Nusantara (KSPN) justru meminta Presiden Prabowo Subianto mengkaji ulang rencana pembentukan Satgas PHK dan Dewan Kesejahteraan Buruh Nasional.
Presiden KSPN Ristadi menyampaikan, salah satu alasan KSPN meminta wacana tersebut dikaji ulang lantaran kehadiran Satgas PHK dan Dewan Kesejahteraan Buruh Nasional dinilai sebagai bentuk ketidakpercayaan Kepala Negara terhadap Kemnaker dalam mengatasi polemik ketenagakerjaan di Indonesia.
“Secara tersirat, pembentukan Satgas PHK dan Dewan Kesejahteraan Buruh Nasional akan mendelegitimasi sebagian fungsi-fungsi Kemnaker,” kata Ristadi dalam keterangannya, Senin (9/6/2025).
Alasan lainnya, yakni lembaga-lembaga yang ada seperti Lembaga Kerjasama Tripartit Nasional, Dewan Pengupahan Nasional, bahkan Komite Pengawas Ketenagakerjaan dinilai kurang efektif dalam menjalankan tugas dan fungsinya.
Padahal kata Ristadi, lembaga-lembaga ini berfungsi melakukan kajian-kajian aturan ketenagakerjaan seperti pengupahan, memberikan masukan kepada Presiden mengenai kebijakan ketenagakerjaan serta melakukan pengawasan efektivitas kerja pegawai pengawas ketenagakerjaan.
Untuk itu, demi mewujudkan niat Kepala Negara dalam mengatasi maraknya PHK, KSPN mengusulkan agar pemerintah mengefektifkan lembaga-lembaga ketenagakerjaan yang sudah ada seperti Lembaga Kerjasama Tripartit Nasional, Dewan Pengupahan Nasional, dan Komite Pengawas Ketenagakerjaan.
Menurutnya, apabila memungkinkan, Ristadi mengusulkan agar pemerintah memberikan fungsi dan tugas tambahan untuk mendukung niat Kepala Negara guna mengatasi kasus PHK di Tanah Air.
Selain itu, dia mendesak pemerintah untuk meningkatkan kinerja Kemnaker dalam melaksanakan program-program yang menyangkut kemampuan calon pekerja, menyiapkan lapangan kerja, melindungi pekerja selama dan sesudah bekerja, hingga meningkatkan kinerja pegawai pengawas.
“Kemudian lebih sering turun lapangan, kurangi diskusi-diskusi dan acara-acara seremonial yang tidak berdampak atasi masalah ketenagakerjaan,” usulnya.