Bisnis.com, JAKARTA — Badan Pengelola Investasi Danantara mulai mengkaji pra studi kelayakan (pra feasibility study/FS) untuk 18 proyek hilirisasi prioritas dengan nilai investasi US$38,63 miliar atau sekitar Rp618,13 triliun. Sejumlah pengamat pun menyoroti pentingnya kesiapan eksekusi agar proyek-proyek tersebut dapat berjalan optimal.
Adapun proyek itu mencakup sektor hilirisasi mineral dan batu bara (minerba), hilirisasi pertanian, hilirisasi kelautan dan perikanan, ketahanan energi, dan transisi energi.
Ekonom Senior Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Muhammad Ishak Razak menilai, jika berjalan dengan baik, hilirisasi dapat meningkatkan nilai tambah ekonomi komoditas primer dan meningkatkan kontribusi industri pengolahan terhadap produk domestik bruto (PDB).
Selain itu, proyek-proyek tersebut dapat mendorong peningkatan penyerapan tenaga kerja sehingga mengurangi pengangguran, terutama di daerah-daerah kaya sumber daya, khususnya di kawasan Indonesia Timur.
"Berkaca pada program hilirisasi nikel di Sulawesi dan Maluku, terdapat beberapa pelajaran penting yang perlu diperhatikan pemerintah," kata Ishak kepada Bisnis, Selasa (22/7/2025).
Menurutnya, untuk mengeksekusi proyek hilirisasi itu, pemerintah perlu mendorong peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM). Dia menyebut, di satu sisi, hilirisasi mampu meningkatkan penyerapan tenaga kerja dalam jumlah besar.
Baca Juga
Namun, seringkali pekerja lokal hanya ditempatkan di level rendah, sementara tenaga ahli asing mendominasi posisi strategis.
"Oleh karena itu, pemerintah perlu menyediakan program link and match dengan memprioritaskan tenaga kerja lokal dan mendorong pelatihan vokasi serta pendidikan, khususnya bagi masyarakat di daerah tujuan investasi," tutur Ishak.
Di samping itu, pemerintah juga perlu memastikan bahwa adanya program transfer teknologi agar Indonesia tidak bergantung pada pihak asing. Selain itu, peran BUMN perlu diperkuat dalam proses hilirisasi tersebut dan tidak bergantung pada investasi asing.
Menurut Ishak, hilirisasi jangan sampai bergantung pada asing sebagaimana yang terjadi pada smelter nikel yang terlalu bergantung pada investor China dengan keterlibatan minim dari BUMN.
Ishak juga mengingatkan agar pemerintah harus memitigasi dampak lingkungan. Dia menjelaskan, hilirisasi minerba telah menyebabkan berbagai dampak negatif seperti deforestasi dan polusi, sebagaimana terjadi di Sulawesi dan Maluku Utara.
"Karena itu, perlu dipastikan adanya audit lingkungan yang ketat, restorasi lahan pasca-tambang, dan transisi ke teknologi serta energi hijau untuk sektor energi," imbuh Ishak.
Menurutnya, proses hilirisasi juga harus berlangsung secara transparan dan akuntabel. Hal ini agar tidak mengulangi proses hilirisasi nikel yang justru menyebabkan kekayaan alam jatuh ke tangan pihak asing.
Selanjutnya, Ishak juga mengingatkan agar pemerintah harus memperkuat infrastruktur pendukung. Menurutnya, banyak proyek hilirisasi gagal karena kurangnya infrastruktur listrik, transportasi, dan logistik, terutama di luar Jawa.
"Pemerintah harus memprioritaskan pembangunan infrastruktur berkelanjutan, seperti jaringan energi terbarukan untuk smelter, dan berkolaborasi dengan BUMN untuk mempercepat pembangunan tersebut," katanya.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mengingatkan agar proyek yang ditawarkan ke Danantara harus fokus.
"Misalnya di sektor transisi energi dan ketahanan pangan sehingga sumber daya nya tidak terpecah ke proyek lain yang bisa dikerjakan BUMN atau swasta tanpa suport Danantara," katanya.
Dia juga mendesak agar proyek yang ditawarkan secara rinci dibuka ke publik, sehingga Danantara bisa mendapatkan saran dari publik. Bhima mencontohkan, pada kasus hilirisasi batu bara menjadi Dimethyl Ether (DME) yang akhirnya menuai penolakan dari masyarakat dan investor bisa dicegah masuk ke shortlist investasi.
Di samping itu, dia juga mengingatkan agar pemerintah memastikan antara hilirisasi produk tambang dengan hilirisasi pertanian-perikanan tidak saling kontradiktif. Contohnya, di Sulawesi dan Maluku, pencemaran dari tambang dan smelter nikel membuat nilai tangkapan nelayan berkurang dan luas lahan pangan juga turun.
"Itu yang saling kontradiktif harus disortir oleh Danantara," kata Bhima.
Adapun pra FS untuk 18 proyek hilirisasi itu mencakup sektor hilirisasi minerba, hilirisasi pertanian, hilirisasi kelautan dan perikanan, ketahanan energi, serta transisi energi.
Perinciannya, total investasi untuk proyek hilirisasi minerba sebanyak US$20,1 miliar atau Rp321,8 triliun. Adapun, potensi serapan tenaga kerja dari proyek ini mencapai 104.974 orang.
Lalu, investasi di sektor ketahanan energi sebanyak dua proyek. Nilai investasi dari kedua proyek ini mencapai US$14,5 miliar atau Rp232 triliun dengan potensi serapan tenaga kerja 50.960 orang.
Kemudian, untuk investasi di sektor transisi energi mencapai dua proyek. Adapun, nilai investasi dari kedua proyek itu mencapai US$2,5 miliar atau Rp40 triliun dengan potensi penyerapan tenaga kerja 29.652 orang.
Selanjutnya, untuk hilirisasi kelautan dan perikanan mencapai tiga proyek. Nilai investasi dari ketiga proyek itu mencapai US$1,08 miliar atau Rp17,22 triliun dengan potensi pembukaan lapangan kerja 67.100 orang.
Terakhir, untuk hilirisasi pertanian mencapai tiga proyek dengan nilai investasi US$444,3 juta atau Rp7,11 triliun. Adapun, potensi pembukaan lapangan kerja untuk ketiga proyek itu mencapai 23.950 orang.