Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

AS Ikut Perang Israel-Iran, Pasar Keuangan Diprediksi Makin Bergejolak

Serangan militer Amerika Serikat terhadap fasilitas nuklir Iran dipandang sebagai pemicu potensial aksi jual di pasar keuangan global.
Ilustrasi mata uang berbagai negara di dunia, antara lain dolar AS, rupiah, yen, dan yuan. Dok Freepik
Ilustrasi mata uang berbagai negara di dunia, antara lain dolar AS, rupiah, yen, dan yuan. Dok Freepik

Bisnis.com, JAKARTA — Serangan militer Amerika Serikat terhadap fasilitas nuklir Iran dipandang sebagai pemicu potensial aksi jual di pasar keuangan global. Investor menilai eskalasi ini akan mendorong permintaan terhadap aset safe haven seiring meningkatnya ketidakpastian geopolitik.

Melansir Reuters pada Senin (23/6/2025), pasar saham di kawasan Timur Tengah, yang lebih dulu dibuka pada Minggu (22/6), menunjukkan respons yang relatif terkendali. Hal ini terjadi meski Iran meningkatkan intensitas serangan misil ke Israel sebagai balasan atas keterlibatan militer AS yang tiba-tiba dan signifikan dalam konflik.

Para investor memperkirakan bahwa keterlibatan AS akan memicu tekanan di bursa saham dan memperkuat posisi dolar AS serta aset safe haven lainnya ketika pasar utama dunia kembali beroperasi. Namun, arah pasar masih dibayangi ketidakpastian.

CIO Potomac River Capital Mark Spindel memprediksi bahwa reaksi awal pasar akan dipenuhi kekhawatiran dan disertai dengan kenaikan harga minyak. Ia menekankan bahwa meskipun Presiden Trump mengklaim keterlibatan AS telah usai, kenyataannya militer AS masih aktif di lapangan.

“Sekarang, warga AS di berbagai belahan dunia menjadi lebih rentan. Ini meningkatkan ketidakpastian dan volatilitas pasar, terutama terhadap harga minyak,” ujarnya.

Tanda awal tekanan pasar terlihat dari jatuhnya harga Ether, aset kripto terbesar kedua, yang turun 8,5% pada Minggu. Sejak serangan pertama Israel ke Iran pada 13 Juni, Ether telah terkoreksi sekitar 13%.

Dalam pidato nasionalnya, Presiden Trump menyebut serangan tersebut sebagai “kesuksesan militer spektakuler,” dan menyatakan fasilitas pengayaan nuklir utama Iran telah dihancurkan sepenuhnya. Ia juga memperingatkan bahwa militer AS siap menyerang target tambahan jika Iran tidak segera membuka jalan damai.

Iran menegaskan haknya untuk mempertahankan diri dan memperingatkan akan adanya “konsekuensi abadi.” Menteri Luar Negeri Iran, Abbas Araqchi, mengatakan dari Istanbul bahwa Teheran sedang menyiapkan berbagai opsi balasan dan baru akan membuka jalur diplomatik setelah memberikan respons militer.

Harga Minyak & Inflasi

Fokus utama pasar kini beralih pada potensi dampak konflik terhadap harga minyak dan inflasi global. Kekhawatiran terhadap inflasi yang melonjak dapat menekan kepercayaan konsumen dan menghambat kebijakan pelonggaran suku bunga oleh bank sentral.

Analis energi senior MST Marquee Saul Kavonic memperkirakan bahwa Iran dapat membalas dengan menyerang kepentingan AS di kawasan, termasuk fasilitas energi di Irak atau mengganggu jalur pelayaran di Selat Hormuz—salah satu jalur ekspor minyak utama dunia.

“Semuanya bergantung pada bagaimana Iran bertindak dalam beberapa jam atau hari ke depan. Tapi bila mereka bertindak seperti yang selama ini mereka ancam, harga minyak bisa dengan mudah menembus US$100 per barel,” katanya.

Sejauh ini, harga Brent sudah melonjak 18% sejak 10 Juni, mencapai level tertinggi lima bulan di US$79,04 pada Kamis lalu. Namun, indeks S&P 500 tetap datar setelah sempat melemah pasca-serangan awal Israel.

Jamie Cox, Managing Partner di Harris Financial Group, memprediksi lonjakan harga minyak akan bersifat jangka pendek. Ia menilai serangan AS justru dapat mendorong Iran untuk membuka kembali kanal negosiasi.

“Dengan kekuatan militer sebesar ini dan hancurnya fasilitas nuklir mereka, Iran kehilangan kekuatan tawar dan besar kemungkinan akan memilih berdiplomasi,” ujarnya.

Meski begitu, para ekonom memperingatkan bahwa lonjakan tajam harga minyak bisa memperberat beban ekonomi global yang masih terguncang akibat kebijakan tarif AS. Namun, sejarah menunjukkan bahwa dampak semacam ini terhadap pasar saham cenderung sementara.

Saat invasi Irak pada 2003 dan serangan ke fasilitas minyak Arab Saudi tahun 2019, indeks saham sempat melemah namun berhasil rebound dalam hitungan bulan. Berdasarkan data Wedbush Securities dan CapIQ Pro, S&P 500 rata-rata turun 0,3% dalam tiga pekan pertama konflik, tapi naik 2,3% dua bulan kemudian.

Dolar AS Berpotensi Menguat

Konflik juga menimbulkan dinamika baru terhadap pergerakan dolar AS. Meskipun dolar cenderung melemah sepanjang tahun ini karena kekhawatiran atas daya saing ekonomi AS, keterlibatan langsung Washington dalam konflik militer dapat memicu penguatan dolar.

“Kita akan melihat aliran dana ke aset-aset aman. Itu berarti imbal hasil obligasi turun dan dolar menguat,” kata Steve Sosnick, Kepala Strategi Pasar IBKR.

“Sulit membayangkan pasar saham tidak terguncang—yang jadi pertanyaan adalah seberapa dalam efeknya.”

Jack McIntyre, manajer portofolio obligasi global di Brandywine Global, menyebut dampak terhadap pasar obligasi masih belum bisa dipastikan mengingat sensitivitas tinggi investor terhadap inflasi.

“Situasi ini berpotensi mendorong perubahan rezim. Jika Iran akhirnya beralih ke sistem ekonomi yang lebih terbuka dan bersahabat, dampaknya bisa sangat signifikan terhadap perekonomian global,” pungkas McIntyre.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Bisnis Indonesia Premium.

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Bisnis Indonesia Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper