Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Ketidakpastian Global Meningkat, Bagaimana Nasib Pasar Keuangan RI?

Diversifikasi portofolio global ke negara berkembang meningkat di tengah ketidakpastian global.
Karyawati melintas di dekat layar pergerakan saham di kantor PT Bursa Efek Indonesia (BEI), Jakarta, Senin (10/2/2025). JIBI/Bisnis/Arief Hermawan P
Karyawati melintas di dekat layar pergerakan saham di kantor PT Bursa Efek Indonesia (BEI), Jakarta, Senin (10/2/2025). JIBI/Bisnis/Arief Hermawan P

Bisnis.com, SINGAPURA — Ketidakpastian global yang meningkat mendorong percepatan proses diversifikasi portofolio global dari aset-aset Amerika Serikat dan China.

Proses diversifikasi itu pun membuka ruang bagi pasar keuangan negara berkembang seperti Indonesia untuk menjadi tujuan investasi. Hanya saja, peningkatan meningkat dan kedalaman pasar yang belum memadai menjadi tantangan.

Senior Economist Emerging Asia di Natixis Trinh Nguyen menjelaskan bahwa saat ini telah muncul kesadaran global bahwa ketergantungan berlebihan terhadap satu jenis aset menimbulkan risiko.

“Semua orang sepakat bahwa terlalu banyak membeli satu aset itu berbahaya, tapi pertanyaannya adalah bagaimana cara keluar dari ketergantungan itu, dan berapa biayanya,” ujarnya dalam sebuah lokakarya National Press Foundation di Singapura yang diikuti Bisnis, belum lama ini.

Trinh menjelaskan bahwa ketika investor mulai menjauh dari aset-aset tradisional seperti US Treasury, mereka akan mencari alternatif yang lebih menarik secara imbal hasil.

Hanya saja, pergeseran tersebut tidak bisa dilakukan secara agresif mengingat biaya peralihan yang tinggi serta keterbatasan pasar tujuan, terutama di negara berkembang. Salah satunya adalah pasar obligasi Indonesia yang dinilainya masih dangkal secara ukuran dibandingkan dengan Amerika Serikat.

“Pasar obligasi Indonesia totalnya hanya sekitar US$500 miliar. Jika dibandingkan dengan US Treasury yang mencapai US$30 triliun, itu sangat kecil. Jadi, jika banyak investor masuk sekaligus, harganya bisa melonjak dan risikonya juga ikut meningkat,” katanya.

Meski demikian, Trinh menganggap Indonesia tetap memiliki daya tarik tersendiri di tengah proses deglobalisasi dan restrukturisasi rantai pasok global. Pada saat yield obligasi China berada di bawah 2% dan pasar negara maju cenderung menawarkan imbal hasil yang stagnan, pasar Asia Tenggara menawarkan potensi pertumbuhan lebih tinggi dengan risiko yang masih dapat diterima investor.

Di sisi lain, Trinh juga menilai kekhawatiran terhadap potensi krisis finansial, khususnya yang berkaitan dengan pelemahan nilai tukar, tidak berdasar. Dia mencontohkan sentimen negatif yang sempat muncul terhadap rupiah pada Februari dan Maret 2025, saat nilai tukar menembus level psikologis yaitu Rp17.000 per dolar AS.

“Waktu itu banyak yang menyamakan kondisi dengan krisis finansial Asia 1997, padahal kondisinya jauh berbeda,” jelasnya.

Dia menambahkan, tren depresiasi ringan juga terjadi di negara lain seperti India. Menurut Trinh, rupee India secara konsisten melemah sekitar 1,5% per tahun sebagai bagian dari strategi bank sentral setempat yang tidak menginginkan mata uang yang terlalu kuat.

“Jika melihat datanya, depresiasi seperti itu tidak mencerminkan krisis, melainkan bagian dari kebijakan moneter,” ujarnya.

Lebih lanjut, Trinh menekankan bahwa pasar keuangan global memang tengah mengalami perubahan besar, tetapi prosesnya berlangsung secara bertahap karena investor memerlukan waktu untuk menyesuaikan kembali portofolio mereka.

Dalam jangka pendek, pasar AS dan China masih akan mendominasi, tetapi minat terhadap emerging market seperti Indonesia akan terus tumbuh, terutama dari investor yang mencari diversifikasi dan imbal hasil lebih tinggi.

“Pasar obligasi AS, tetap akan menemukan pembelinya, sebagaimana pasar Indonesia juga akan tetap menarik minat pembeli. Jadi, bahkan jika terjadi perang dagang yang memecah belah dunia dan mengganggu stabilitas, dengan Trump yang liar dan tidak terduga, gejolak di sisi aset keuangan belum sebesar yang dikhawatirkan,” pungkasnya.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Bisnis Indonesia Premium.

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Bisnis Indonesia Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper