Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Industri Petrokimia Waspadai Harga Nafta Melambung Imbas Konflik Iran-Israel

Inaplas mewaspadai potensi kenaikan nafta seiring meningkatnya eskalasi konflik Iran-Israel.
Sekjen Asosiasi Industri Olefin, Aromatik dan Plastik Indonesia (INAPLAS) Fajar Budiono menyampaikan pemaparan saat acara Bisnis Indonesia Forum (BIF) di Jakarta, Jumat (9/8/2024). Bisnis/Eusebio Chrysnamurti
Sekjen Asosiasi Industri Olefin, Aromatik dan Plastik Indonesia (INAPLAS) Fajar Budiono menyampaikan pemaparan saat acara Bisnis Indonesia Forum (BIF) di Jakarta, Jumat (9/8/2024). Bisnis/Eusebio Chrysnamurti

Bisnis.com, JAKARTA — Asosiasi Industri Olefin, Aromatik, dan Plastik Indonesia (Inaplas) mewaspadai potensi gejolak harga minyak global, khususnya efeknya terhadap produk olahan, seperti nafta sebagai bahan baku petrokimia. Hal ini ditengarai ketegangan geopolitik, khususnya di kawasan Timur Tengah. 

Sekretaris Jenderal Inaplas Fajar Budiono mengatakan, meskipun saat ini dampaknya belum terasa besar, tren kenaikan harga minyak dan nafta mulai menimbulkan kekhawatiran.

Apalagi, rencana pemerintah Iran yang akan menutup Selat Hormuz, 20% pelayaran minyak mentah melalui selat tersebut.

“Kalau itu [harga minyak] ke angka US$80–US$100 dengan cepat, masuk ke US$80 saja itu artinya nanti semua harga petrokimia akan berubah,” ujar Fajar kepada Bisnis, Senin (23/6/2025). 

Saat ini, harga minyak diperdagangkan pada level US$73,49 per barel atau turun 0,47% dibandingkan hari sebelumnya, sedangkan minyak jenis Brent melemah 0,49% menjadi US$76,63%.

Menurut Fajar, jika terjadi penutupan Selat Hormuz, potensi lonjakan hingga US$100 per barel menjadi ancaman nyata. Hal ini juga memengaruhi harga nafta di pasar. 

Kenaikan harga minyak dapat berdampak ke harga nafta yang diproyeksi naik US$50 per ton dan polimer US$10-20 per ton. 

Nafta, sebagai bahan baku utama industri, sangat bergantung pada impor dari Timur Tengah. 

“Kalau nafta itu mungkin 80% lah dari sana. Meski polimer hanya 30% bergantung pada pasokan luar, gangguan suplai tetap bisa memicu kelangkaan,” ujarnya. 

Kenaikan harga tersebut dapat berdampak ke ongkos produksi barang turunan dari petrokimia, seperti plastik, kemasan, hingga tekstil. 

Dalam hal ini, pengusaha membidik pasar tradisional untuk menjaga serapan bahan baku. Menurut Fajar, pasar tradisional kemasan plastik memiliki potensi serapan 41% 

Di sisi lain, dia tetap mewaspadai kondisi ancaman serbuan produk impor murah dari China yang melibas pasar domestik. Hal ini telah membuat sejumlah pabrikan gulung tikar. 

“Ini industri PET [polyethylene terephthalate] sudah ada yang tutup satu. Ini sudah mulai mengkhawatirkan juga,” tuturnya.

Pelaku industri juga meminta pemerintah untuk lebih tegas mengatur lalu lintas impor. Apalagi, utilitas sejumlah industri nasional saat ini yang terus menurun. 


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Bisnis Indonesia Premium.

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Bisnis Indonesia Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper