Bisnis.com, JAKARTA — Industri hulu minyak dan gas tidak melulu soal pemenuhan kebutuhan energi, melainkan guna pemenuhan bahan baku industri petrokimia.
Ketua Umum Federasi Industri kimia Indonesia Suhat Miyarso mengatakan, industri petrokimia yang masuk kategori industri hijau, memegang peranan penting perkembangan industri dalam negeri. Alasannya, berbagai produk petrokimia diperlukan untuk produk-produk sektor hilir, dari furnitur rumah tangga, pipa air, kabel listrik, kemasan makanan dan minuman, otomotif, perlatan medis, perlengkapan pertanian, hingga alat perikanan.
"Industri hulu migas memiliki nilai strategis yang sangat penting dalam industri petrokimia. Hal ini karena industri hulu migas adalah sumber utama bahan baku untuk produksi petrokimia," ungkapnya melalui keterangan resmi, Jumat (5/5/2023).
Sebelumnya, Presiden Joko Widodo telah menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) No. 74/2022 tentang Kebijakan Industri Nasional 2020-2024 yang mengatur mengenai sasaran pembangunan industri migas.
Melalui Perpres itu, Pemerintah menargetkan untuk melakukan peningkatan pemanfaatan, penyediaan, dan penyaluran kimia berbasis migas dan batu bara. Pasalnya, nafta atau naphtha, sebagai bahan baku utama industri petrokimia masih sepenuhnya diimpor sebesar 2,5 juta ton tiap tahunnya.
Pemerintah akan melakukan pembangunan refinery nafta dan kondensat untuk bahan baku pengolahan olefin aromatik dan poliolefin, yang merupakan senyawa organik yang terdiri dari satu atau lebih unit monomer olefin dan memiliki sifat elastis, tahan terhadap bahan kimia, ringan, dan lazim digunakan dalam produk industri maupun barang konsumen.
Baca Juga
Pembangunan refinery nafta tersebut nantinya akan memiliki kapasitas masing-masing 300.000 barel per hari untuk mengimbangi peningkatan produksi olefin (dihasilkan dari proses pemisahan minyak bumi atau produksi gas alam, serta sintesis kimia dan dapat digunakan sebagai bahan baku dalam produksi polyolefin) dalam negeri.
Adapun, Kementerian Perindustrian mendorong penghiliran di industri petrokimia. Upaya ini dinilai strategis karena menghasilkan bahan baku primer menopang banyak industri manufaktur hilir penting seperti tekstil, otomotif, mesin, elektronika, dan konstruksi.
Hingga Oktober 2022, kinerja ekspor dari industri kimia sebesar US$18,5 miliar atau naik 20 persen jika dibandingkan periode yang sama pada tahun sebelumnya, sedangkan pada 2023 ditargetkan US$25 miliar.
Adapun, kapasitas produksi petrokimia nasional saat ini berkisar 7,1 juta ton per tahun (2022) dan impor produk kimia yang juga masih sangat signifikan, yaitu mencapai 4,6 juta ton pada 2020.
Sementara itu, Pertamina sudah memasang target menaikkan kapasitas produksi petrokimia dari sekitar 1,66 juta ton pada 2022, menjadi 8 juta ton pada 2027 melalui sejumlah proyek. Pemerintah menargetkan Indonesia dapat menjadi negara produsen petrokimia nomor satu di Asean.
Kebutuhan petrokimia nasional terus meningkat seiring dengan pertumbuhan industri manufaktur dan sektor konstruksi di Indonesia. Beberapa faktor seperti permintaan pasar, produksi petrokimia domestik, harga bahan baku, dan persaingan global juga dapat memengaruhi volume kebutuhan petrokimia di Indonesia.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto sempat menyinggung peran penting industri hilir. Airlangga menilai sektor itu menjadi bagian dalam peningkatan multiplier effect bagi industri hilir seperti pupuk dan petrokimia.
“Kementerian ESDM sudah memberikan dukungan harga gas pada industri tertentu agar kompetitif sehingga banyak sektor hilir yang mampu bersaing dan mengekspor produknya. Kebijakan tersebut perlu diapresiasi dan diharapkan hilir dari kegiatan hulu migas dapat berkembang sehingga tidak hanya berkontribusi pada pendapatan negara, tetapi juga memberikan efek penciptaan lapangan pekerjaan dan mendorong ekonomi makro," ujarnya.
Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) pun turut mendukung upaya pemerintah memberikan insentif bagi industri petrokimia di daerah penghasil gas. Langkah ini bertujuan untuk mendorong monetisasi potensi gas bumi.
Kepala Divisi Monetisasi Minyak dan Gas Bumi SKK Migas Agus Budianto mencontohkan insentif yang diberikan pemerintah untuk mendukung penyerapan gas oleh industri petrokimia adalah insentif untuk gas yang sedang dikembangkan oleh Kontraktor Kontrak Kerja Sama (Kontraktor KKS) Genting Oil Kasuri Pte Ltd di Papua Barat
Dengan insentif yang diberikan pemerintah, Kontraktor KKS (sebagai produsen) dapat menyesuaikan harga gas dari US$5 per MMBTU menjadi US$4 per MMBTU sehingga dapat diserap oleh produsen pupuk dan metanol yang akan beroperasi di wilayah tersebut.
Klaster industri petrokimia memang menjadi salah satu prioritas pemerintah Indonesia dalam program industri 4.0. Sektor itu turut menjadi fondasi industri nasional seperti tertuang dalam Peraturan Pemerintah nomor 14 tahun 2015 tentang Rencana Induk Pembangunan Industri Nasional (RIPIN) 2015-2035