Bisnis.com, JAKARTA — Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) menilai kondisi pemangkasan produksi stainless steel (baja tahan karat) tak hanya terjadi pada perusahaan China, Tsingshan Holding Group. Namun, juga di beberapa smelter nikel lainnya.
Dewan Penasehat APNI Djoko Widajatno mengatakan, kondisi tersebut dipicu sejumlah faktor mulai dari kelebihan pasokan global, keterbatasan pasokan bijih nikel, tantangan lingkungan dan sosial, serta perubahan dalam permintaan pasar.
“Ya, fenomena penurunan produksi smelter tidak hanya terjadi di Tsingshan atau di IMIP [Indonesia Morowali Industrial Park] tapi juga meluas ke beberapa smelter lain di Weda Bay, Halmahera utara,” kata Djoko kepada Bisnis, Rabu (4/6/2025).
Menurut Djoko, pemangkasan produksi smelter dalam negeri akan berdampak pada penurunan harga nikel lokal dan berujung pada tekanan bagi usaha pertambangan kecil dan menengah.
Kendati demikian, terkait pemangkasan produksi Tsingshan, dia meyakini bahwa langkah perusahaan tersebut mencerminkan upaya perusahaan untuk menyesuaikan diri dengan dinamika pasar dan menjaga keberlanjutan operasional di tengah tantangan yang kompleks.
Untuk itu, APNI meminta pemerintah untuk turun tangan dan melakukan intervensi kebijakan, seperti penyesuaian kuota rencana kerja dan anggaran biaya (RKAB) nikel dan penjadwalan ulang ekspansi smelter.
Baca Juga
“Atau pengaturan ekspor terbatas, kemungkinan besar akan diperlukan untuk menstabilkan industri,” tuturnya.
Senada, Sekjen APNI Meidy Katrin Lengkey mengatakan, beberapa smelter lain juga melakukan pengurangan produksi. Hal ini dikarenakan ongkos produksi yang meningkat, terlebih tarif royalti yang juga baru-baru ini naik.
“Kalau sedang shutdown production, tidak semua. Ada beberapa line. Pertama, karena kan cost saat ini meningkat. Sejak royalti naik, harga ore juga jadi double,” tuturnya, saat ditemui di Indonesia Critical Minerals, Rabu (4/6/2025).
Dia tak heran dengan kondisi pemangkasan produksi ini lantaran beban biaya yang terus meningkat, sementara harga jual dan permintaan, khususnya untuk nickel pig iron (NPI), juga berkurang.
“Enggak bisa disebut cuma karena kenaikan royalti, tapi juga bisa disebut karena cost produksi meningkat, di mana harga juga enggak worth it gitu loh. Termasuk, Virtue Dragon Nickel Industry, itu juga mengurangi ya, termasuk Huadi [PT Huadi Nickel Alloy Indonesia], itu juga mengurangi. Jadi kapasitas output produksi mungkin tahun ini berkurang ya, kalau khusus untuk NPI,” pungkasnya.
Untuk diketahui, laporan dari Bloomberg menyebut bahwa Tsingshan menghentikan beberapa lini produksi baja di Kawasan Industri Morowali, Sulawesi Tengah mulai Mei 2025 ini.
Berdasarkan keterangan orang yang mengetahui masalah tersebut, langkah itu diambil demi menjadi harga baja tahan karat yang mencapai titik terendah dalam 5 tahun terakhir pada April 2025.
Fasilitas produksi yang ditangguhkan telah dimasukkan dalam masa pemeliharaan tanpa batas waktu yang jelas. Selain itu, kurangnya bahan baku juga disebut telah menyebabkan penutupan pabrik penggilingan di Morowali.
Tsingshan yang juga merupakan top produsen nikel, disebut belum memiliki rencana pasti terkait sampai kapan penangguhan produksi baja tahan karat tersebut. Sementara itu, perusahaan tidak menanggapi permintaan komentar dari Bloomberg.
Menurut Macquarie Group Ltd, Tsingshan Holding Group menyumbang hampir sepertiga dari produksi baja tahan karat dunia tahun lalu.
Operasi pembuatan baja perusahaan di Morowali dibangun untuk memanfaatkan dominasi Indonesia dalam produksi nikel. Dibantu oleh investasi asing, termasuk dari Tsingshan, RI menyumbang lebih dari setengah pasokan logam dasar dunia, termasuk nikel.