Bisnis.com, JAKARTA — Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mengungkapkan indikasi potensi kerugian pada PT Timah Tbk (TINS) buntut potensi kehilangan sumber daya timah di wilayah kerja perseroan mencapai Rp34,49 triliun.
Dalam laporan Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) II-2024, BPK menilai PT Timah tidak mampu melakukan pengamanan sumber daya. Hal ini berdampak pada dugaan praktik penambangan ilegal di wilayah izin usaha pertambangan (WIUP) milik perusahaan pelat merah itu.
Dugaan itu tercermin dari PT Timah yang memiliki IUP paling besar. Namun, produksinya tidak sesuai luasan IUP yang dimiliki.
BPK juga menyebut, PT Timah tidak bisa mengoptimalkan pengamanan area penambangan. Hal ini berpotensi membuat perusahaan kehilangan sumber daya timah periode 2013 sampai dengan semester I/2023.
"Hal ini mengakibatkan terjadinya potensi kehilangan sumber daya timah yang berisiko merugikan perusahaan sebesar Rp34,49 triliun dan membutuhkan proses verifikasi lebih lanjut oleh PT Timah Tbk," demikian tulis BPK dalam IHPS II-2024, dikutip Rabu (28/5/2025).
BPK pun lantas merekomendasikan kepada Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir untuk mengusulkan kepada pemerintah segera mengambil alih pengamanan penambangan WIUP PT Timah.
Lembaga itu juga merekomendasikan Erick untuk berkoordinasi dengan Menteri ESDM Bahlil Lahadalia, Menteri Perdagangan Budi Santoso, dan aparat penegak hukum untuk melakukan penataan ulang bisnis timah di Pulau Bangka Belitung.
"Termasuk dalam penertiban keberadaan perusahaan swasta dan smelter yang diduga menerima, mengolah, dan mengekspor hasil penambangan ilegal di wilayah IUP PT Timah Tbk," kata BPK.
Selain itu, direksi PT Timah agar melaporkan dugaan penambangan ilegal kepada aparat penegak hukum.
Kepayahan Berantas Tambang Ilegal
Sebelumnya, Direktur Utama PT Timah Restu Widiyantoro mengamini aktivitas penambangan ilegal yang masif dan tak terkendali memberikan tekanan besar terhadap kinerja perusahaan.
Dia mengungkapkan, aktivitas tambang ilegal masih masif di WIUP perusahaan. Kondisi ini membuat operasional perusahaan di wilayah konsesi terganggu dan tidak lagi sepenuhnya berada dalam kendali manajemen.
Menurut Restu, maraknya aktivitas penambangan ilegal di dalam WIUP menimbulkan kerugian yang cukup besar, seperti rusaknya sumber daya dan cadangan, asal usul bijih timah menjadi tidak jelas, serta kerusakan lingkungan dan terciptanya lahan kritis.
"Luar biasa kondisi yang sekarang dihadapi, terutama sejak ada kasus Harvey Moeis dan kawan-kawan. Jadi memang sekarang hampir operasional perusahaan dikendalikan bukan oleh PT Timah secara langsung. Ini kami akui dan menjadi kewajiban kami nanti [menertibkan]," kata Restu dalam Rapat Dengar Pendapat bersama Komisi VI DPR RI, Rabu (14/5/2025).
PT Timah mencatat ratusan tambang ilegal tersebar di WIUP darat Bangka, laut Bangka, dan darat Belitung. Perinciannya, pada Januari 2025 jumlah tambang ilegal di darat Bangka mencapai 317.
Lalu, tambang ilegal di laut Bangka mencapai 962 dan tambang ilegal di darat Belitung mencapai 39, sedangkan penertiban yang dilakukan baru kepada 380 tambang ilegal.
Jumlah tambang ilegal kemudian naik pada Februari 2025. Perinciannya, tambang ilegal di darat Bangka mencapai 404, laut Bangka 1.001, dan darat Belitung 46. Sementara itu, penertiban pada Februari 2025 baru dilakukan kepada 80 tambang ilegal.
Selanjutnya, jumlah tambang ilegal pada Maret 2025 juta tak kalah banyak. Tercatat jumlah tambang ilegal di darat Bangka mencapai 221, laut Bangka 953, dan darat Belitung 13. Penertiban pada Maret 2025 hanya mencapai 47.
Berikutnya, jumlah tambang ilegal pada April 2025 juga masih tinggi. Perinciannya, jumlah tambang ilegal di darat Bangka mencapai 175, laut Bangka 890, dan darat Belitung 110. Adapun, penertiban baru dilakukan pada 68 tambang ilegal.
Kinerja Timah Jeblok
Maraknya penambangan ilegal berdampak pada kinerja operasional PT Timah yang jeblok dalam 4 tahun terakhir. Peseroan belum bisa memenuhi kuota produksi bijih yang tertera dalam rencana kerja dan anggaran biaya (RKAB) setiap tahunnya.
"Secara umum dari chart-chart yang kami sajikan pada 4 tahun terakhir ini, kinerja perusahaan belum bisa sesuai yang kami programkan pada awal tahun setiap program," ungkap Restu.
Dalam bahan paparannya, produksi bijih dalam RKAB 2021 adalah 47.281 ton, sementara realisasi produk bijih hanya mencapai 24.670 ton.
Lalu, produksi bijih dalam RKAB 2022 mencapai 45.000 ton, sedangkan realisasi produksi bijih pada tahun tersebut hanya 20.079 ton.
Kemudian, produksi bijih dalam RKAB 2023 mencapai 29.000 ton. Namun, realisasi produksi bijih hanya mencapai 14.855 ton.
Kemudian, produksi bijih dalam RKAB 2023 mencapai 29.000 ton. Namun, realisasi produksi bijih hanya mencapai 14.855 ton. Berikutnya, produksi bijih dalam RKAB 2024 mencapai 37.000 ton, sementara produksi bijih hanya mencapai 19.437 ton.
Adapun, produksi bijih dalam RKAB 2025 mencapai 20.000 ton, sedangkan realisasi produksi bijih per kuartal I/2025 baru mencapai 3.215 ton. Dengan fakta tersebut, Timah belum bisa memenuhi target dalam RKAB setiap tahunnya.
Restu pun mengatakan, pihaknya masih memiliki jumlah pekerjaan rumah alias PR.
"Jadi PR kami untuk harus bisa mencapai program yang dicanangkan setiap tahun," katanya.
Audit BPK: PT Timah Berpotensi Rugi Rp34,49 Triliun Imbas Gagal Kelola WIUP
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mengungkapkan indikasi potensi kerugian pada PT Timah Tbk (TINS) akibat ketidakmampuan mengelola wilayah izin usaha tambang (IUP)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel
Penulis : Mochammad Ryan Hidayatullah
Editor : Denis Riantiza Meilanova
Topik
Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Bisnis Indonesia Premium.
Artikel Terkait
Berita Lainnya
Berita Terbaru

7 menit yang lalu
AHY Siap Cari Investor Proyek Tanggul Laut Raksasa

42 menit yang lalu
Hilirisasi Pasir Silika Masih Minim di Tengah Potensi yang Melimpah
Terpopuler
# Hot Topic
Rekomendasi Kami
Foto
