Bisnis.com, JAKARTA — Pertumbuhan ekspor Jepang melambat tajam di tengah langkah agresif Amerika Serikat memperluas kebijakan tarif, memunculkan kekhawatiran perlambatan ekonomi Jepang yang sebelumnya telah terkontraksi bahkan sebelum bea masuk diberlakukan.
Melansir Bloomberg, Rabu (21/5/2025), Kementerian Keuangan Jepang melaporkan ekspor naik 2% secara tahunan (year-on-year/YoY) pada April, turun dari 4% pada bulan sebelumnya. Perlambatan ini dipicu terganggunya pengiriman mobil dan baja. Sementara itu, impor turun 2,2% YoY, terdampak anjloknya pembelian batu bara dan minyak mentah.
Dengan kondisi tersebut, neraca dagang Jepang kembali defisit sebesar ¥115,8 miliar (US$797 juta) setelah dua bulan berturut-turut mencatat surplus. Surplus perdagangan dengan Amerika Serikat juga menyusut menjadi ¥780,6 miliar dari ¥846,9 miliar pada Maret.
Ketimpangan ini menjadikan Jepang salah satu sasaran utama dalam kampanye Presiden AS Donald Trump untuk menyeimbangkan neraca dagang negaranya. Namun, Perdana Menteri Jepang Shigeru Ishiba menegaskan bahwa Jepang tidak akan tergesa-gesa menyepakati perjanjian yang berpotensi merugikan kepentingan nasional.
Menteri Perdagangan AS Howard Lutnick mengindikasikan bahwa negosiasi dagang dengan Jepang akan memakan waktu. Sementara itu, perlambatan ekspor menambah tekanan bagi ekonomi Jepang yang tengah berjuang menciptakan siklus pertumbuhan berkelanjutan lewat kenaikan harga dan upah.
Setelah mencatat kontraksi pada kuartal sebelumnya, kampanye tarif dari pemerintahan Trump kian mendorong Jepang ke tepi jurang resesi teknis, terlebih ketika konsumsi domestik masih lemah.
Baca Juga
“Kita sudah melihat dampak dari tarif yang dikenakan, dan tekanan terhadap perdagangan kemungkinan akan meningkat ke depannya,” ujar Yuichi Kodama, ekonom dari Meiji Yasuda Research Institute, dikutip Bloomberg.
Dari sisi regional, ekspor Jepang ke AS turun 1,8%, terutama dari sektor otomotif dan mesin konstruksi. Ekspor ke China dan Eropa juga melemah masing-masing sebesar 0,6% dan 5,2%. Kementerian Keuangan menyebut rata-rata nilai tukar yen pada April berada di posisi 147,7 per dolar AS, menguat 2,6% dibandingkan tahun lalu, sehingga menekan nilai ekspor dan impor dalam denominasi yen.
Setelah memberlakukan tarif 25% untuk baja dan aluminium pada Maret, Trump menambah bea masuk untuk mobil dan seluruh produk Jepang lainnya dengan tarif dasar 10% yang akan melonjak ke 24% pada musim panas jika tak tercapai kesepakatan dagang.
Ekspor mobil ke AS, yang mewakili hampir 29% total ekspor Jepang, turun 4,8% bulan lalu. Sementara itu, ekspor baja anjlok 29%. Industri otomotif pun terpukul, dengan Toyota dan Honda memproyeksikan penurunan laba hingga miliaran dolar.
Kondisi ini mengancam kemampuan korporasi menaikkan upah, yang menjadi salah satu indikator kunci bagi Bank of Japan dalam mempertimbangkan pengakhiran kebijakan stimulus moneter.
Di sisi lain, penguatan yen sebesar 9,1% sejak awal tahun turut menekan ekonomi. Mata uang yang lebih kuat memangkas nilai pendapatan ekspor dan menekan inflasi melalui impor yang lebih murah.
Menteri Keuangan Katsunobu Kato berencana membahas isu nilai tukar dengan Menkeu AS Scott Bessent dalam forum G7 yang berlangsung pekan ini di Kanada. Sementara itu, kepala perunding dagang Jepang, Ryosei Akazawa, dijadwalkan kembali ke Washington akhir pekan ini untuk melanjutkan negosiasi.
PM Ishiba tetap mendorong pengecualian total dari tarif tambahan AS dan menyatakan tak akan mengorbankan sektor pertanian hanya demi menyelamatkan industri otomotif.
Topik tarif diprediksi menjadi isu sentral dalam pemilu nasional yang akan digelar awal musim panas, bertepatan dengan diberlakukannya kembali tarif timbal balik sebesar 24% mulai awal Juli.
“Dalam situasi seperti ini, idealnya permintaan domestik dapat menopang perekonomian. Namun dengan upah riil yang terus menurun, konsumsi rumah tangga tetap lemah. Risiko resesi teknis tampaknya sulit dihindari,” tutur Kodama.