Bisnis.com, JAKARTA — Ekonom memperingatkan pemerintah untuk tetap waspada terhadap rasio utang yang kini berada di kisaran 40% terhadap produk domestik bruto, sekalipun masih jauh dari ambang batas 60%.
Berdasarkan perhitungan Bisnis, total outstanding utang pemerintah per akhir Maret 2025 senilai Rp9.057,96 triliun (di luar pinjaman dalam negeri). Menggunakan asumsi PDB 2024 yang sejumlah Rp22.139 triliun, artinya rasio utang pemerintah telah mencapai 40,91%.
Ekonom Center of Reform on Economic (Core) Yusuf Rendy Manilet menyadari memang level utang saat ini masih di bawah ketentuan Undang-Undang (UU) Nomor 17/2003 tentang Keuangan Negara, tetapi bukan berarti dapat tenang begitu saja.
“Namun tren kenaikannya tetap perlu diwaspadai, terutama dalam konteks pembiayaan dan stabilitas jangka menengah,” ujarnya kepada Bisnis, Senin (19/5/2025).
Pasalnya, posisi utang pemerintah masih akan terus naik seiring dengan kebutuhan pembiayaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tahun ini.
Di mana pembiayaan utang direncanakan senilai Rp775,9 triliun. Hingga akhir Maret 2025, pemerintah telah melakukan pembiayaan senilai Rp270,4 triliun. Artinya masih ada sisa Rp505,5 triliun potensi tambahan utang tersebut.
Baca Juga
Hal yang menjadi masalah, kata Yusuf, bukan semata-mata besarannya. Namun, pada kualitas dan efisiensi dari utang itu sendiri.
Di tengah kebutuhan pembiayaan yang tinggi, pemerintah dihadapkan pada tantangan nilai tukar rupiah yang sudah jauh di atas asumsi makro APBN—yang disusun dengan estimasi kurs sekitar Rp15.000, sementara kurs aktual kini bisa saja menembus Rp16.000.
“Ini secara langsung meningkatkan beban bunga utang luar negeri dan mempersempit ruang fiskal karena belanja dalam bentuk valas menjadi lebih mahal,” tuturnya.
Yusuf berpandangan dalam kondisi seperti ini, pemerintah perlu mengambil langkah yang lebih hati-hati dan strategis.
Pertama, pembiayaan harus mulai lebih diarahkan pada sumber domestik dengan memperluas basis investor lokal, termasuk mendorong lebih banyak penerbitan SBN ritel.
Kedua, belanja negara mesti difokuskan pada program-program dengan multiplier effect tinggi terhadap pertumbuhan ekonomi dan penerimaan pajak, pemerintah juga tentu bisa memprioritaskan belanja termasuk di dalamnya program belanja flagship seperti MBG.
Ketiga, strategi lindung nilai (hedging) atas utang valas juga harus diperkuat, agar volatilitas rupiah tidak serta-merta memperbesar beban APBN.
Terakhir, tidak kalah penting adalah memperkuat reformasi perpajakan. Masalahnya, selama rasio pajak Indonesia masih rendah, maka kebutuhan pembiayaan akan selalu besar dan ketergantungan terhadap utang sulit dikurangi.
Meraba Posisi Utang Pemerintah
Sebagai informasi, rasio utang yang Bisnis hitung belum pasti sesuai dengan angka dari pemerintah, karena hampir lima bulan sudah atau sejak Januari 2025 Kementerian Keuangan vakum mempublikasikan Buku APBN Kita yang menyajikan penjelasan terkait realisasi anggaran dan posisi terkini utang pemerintah.
Sempat terbit Buku APBN Kita edisi Februari 2025 yang menjelaskan realisasi Januari, namun buku tersebut hilang dari laman resmi Kementerian Keuangan.
Di samping itu, Ekonom Bright Institute Awalil Rizky menyampaikan bahwa cara menghitung paling sederhana adalah posisi utang akhir Desember 2024 senilai Rp8.801,09 triliun ditambah pembiayaan utang sampai 31 Maret 2025 (Rp270,4 triliun), sehingga total menjadi Rp9.071,5 triliun.
Bisnis menghitung bila obligasi pemerintah, tanpa SBN yang tidak dapat diperjualbelikan dan tanpa pinjaman dalam negeri, ditambah dengan pinjaman luar negeri menghasilkan total utang pemerintah senilai Rp8.891,55 triliun.
Lain halnya bila menggunakan obligasi pemerintah termasuk SBN non-tradeable, tanpa pinjaman dalam negeri, ditambah dengan pinjaman luar negeri menghasilkan total outstanding utang pemerintah senilai Rp9.057,96 triliun.
Bisnis telah beberapa kali meminta Buku APBN Kita terbaru maupun menanyakan posisi utang pemerintah, namun otoritas fiskal enggan menanggapinya.