Bisnis.com, JAKARTA – Jalan panjang pengembangan kawasan lumbung pangan atau food estate di Indonesia dinilai masih jauh panggang dari api. Setelah sekian waktu berjalan tanpa hasil memuaskan, pemerintah kini hendak bertumpu pada pembentukan BUMN Pangan Agrinas.
Baru saja pemerintah membentuk 3 BUMN sektor pangan terdiri dari PT Agrinas Palma Nusantara (Persero) yang fokus di sektor perkebunan, PT Agrinas Jaladri Nusantara (Persero) di sektor perikanan/kelautan dan PT Agrinas Pangan Nusantara (Persero) dan bergerak di sektor pertanian.
Ketiganya merupakan hasil transformasi dari BUMN Karya yakni PT Indra Karya menjadi PT Agrinas Palma Nusantara (Persero), PT Virama Karya bertransformasi menjadi PT Agrinas Jaladri Nusantara (Persero) dan PT Yodya Karya menjadi PT Agrinas Pangan Nusantara (Persero).
Kementerian Pertanian (Kementan) mengungkap bahwa dari 3 Agrinas tersebut, PT Agrinas Pangan Nusantara (Persero) ditunjuk dan ditugaskan untuk mengelola lahan food estate di seluruh Indonesia.
Wakil Menteri Pertanian, Sudaryono menjelaskan bahwa hingga akhir tahun ini Agrinas Pangan ditargetkan akan mengelola seluas 425.000 hektare (Ha) lahan food estate.
“Sehingga baru berdiri, baru melek, baru jalan Agrinas Pangan sudah memiliki atau sudah mengelola di akhir tahun ini total 425.000 hektare,” jelasnya saat ditemui di Jakarta, Rabu (14/5/2025).
Baca Juga
Dalam penjelasannya, 425.000 Ha lahan itu tersebar di sejumlah wilayah di seluruh Indonesia. Di antaranya sebanyak 225.000 Ha lahan berlokasi di Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah, Kalimantan Barat, dan Sumatra Selatan. Sementara itu, sebanyak 200.000 Ha lahan lainya berlokasi di wilayah Wanam, Kabupaten Merauke, Papua Selatan.
Secara teknis, Sudaryono bilang kehadiran Agrinas bakal membawa transformasi pada pengelolaan food esatate. Di mana nantinya, proses produksi bakal menggunakan teknologi tinggi untuk menggenjot produktivitas pangan.
Tak sampai di situ, Sudaryono membocorkan bahwa Agrinas ditargetkan bakal mengelola hingga jutaan hektare lahan lumbung pangan ke depan. Dirinya lantas mewanti-wanti jajaran Agrinas untuk tidak main-main dalam menjalankan tugasnya.
“Kalau mekanisasi dengan alat yang besar, menanamnya pakai alat semua, maka diharapkan hitungan di atas kertas dengan luas wilayah yang luas, dengan mekanisasi bibit yang baik, irigasi yang bagus, maka produktivitasnya tinggi,” tambahnya.
Untuk mendukung proses produksi tersebut, Wakil Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Kartika Wirjoatmodjo (Tiko) menyampaikan bahwa saat ini pihaknya tengah menyiapkan injeksi modal untuk Agrinas yang bakal dikucurkan oleh Badan Pengelola Investasi (BPI) Danantara.
Tiko meminta agar ketiga BUMN Agrinas tersebut dapat segera menyusun rencana bisnis jangka panjang, di mana nantinya dokumen tersebut bakal dipresentasikan kepada Danantara.
"Kita berharap bahwa bisnis plan ataupun corporate plan jangka panjang yang jelas, bahkan bisa segera disampaikan untuk [dibahas] bersama-sama dengan Danantara dan segera memberikan penyertaan modal," tegasnya saat ditemui dalam agenda Launching PT Agrinas Pangan Nusantara (Persero) di Jakarta, Rabu (14/5/2035).
Nantinya, jelas Tiko, penyertaan modal tersebut dapat digunakan oleh Agrinas untuk melaksanakan rencana bisnis yang telah disusun Agrinas guna mendukung rencana swasembada pangan.
Saat dikonfirmasi berapa rencana dana segar yang bakal digulirkan BPI Danantara kepada Agrinas, Tiko masih enggan menjawab. Dia bilang pihaknya masih melakukan kalkulasi mendalam.
“Belum, belum [ditentukan besaran suntikan modalnya],” jelasnya singkat.
Untuk diketahui, penyertaan modal bagi 3 BUMN Agrinas semulanya bakal dilakukan oleh Kementerian Keuangan (Kemenkeu) lewat injeksi Penyertaan Modal Negara (PMN). Akan tetapi, karena 3 BUMN tersebut masuk ke dalam holding BPI Danantara, maka suntikan modal bakal dilakukan langsung oleh Danantara.
Sementara berdasarkan catatan Bisnis, sebelumnya Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati mengatakan pemerintah berencana menyuntikkan PMN senilai Rp8 triliun kepada 3 BUMN baru Agrinas.
"Kami menyiapkan dalam APBN below the line sampai Rp8 triliun. Dalam APBN itu ada below the line yaitu pembiayaan untuk investasi," ujar Si Mulyani dalam konferensi pers di Jakarta, Selasa (18/3/2025).
Lebih lanjut, Sri Mulyani menegaskan bahwa alokasi PMN untuk Agrinas senilai Rp8 triliun bukanlah anggaran baru, melainkan sudah tercatat dalam APBN 2025.
"Proses sekarang Agrinas oleh Kementerian BUMN akan membentuk, menyampaikan ke DPR untuk kemudian diproses PMN-nya," jelasnya.
Pede Pasok 55.000 Ton Gabah di Tahun Pertama Beroperasi
Mendukung optimisme target pengelolaan food estate yang disampaikan oleh pemerintah. Direktur Utama PT Agrinas Pangan Nusantara (Persero), Joao Angelo De Sousa Mota juga optimistis dapat memasok sebanyak 55.000 ton gabah pada tahun ini.
Joao yang akrab disapa Jo tersebut merinci 55.000 ton gabah itu bakal diproduksi di daerah lumbung pangan atau food estate Baturaja yang berlokasi di Kabupaten Ogan Komering Ulu, Sumatera Selatan.
“Batu Raja ada 11.000 hektare, itu adalah quick win kita. Jadi itu yang pertama kali kita akan siapkan dengan perhitungan-perhitungan yang matang untuk mengeksekusinya,” tegasnya saat ditemui di PosBloc Jakarta, Rabu (14/5/2025).
Jo menjelaskan, pihaknya bakal segera mengeksekusi proyek perdana itu dalam kurun waktu 1 hingga 2 bulan ke depan.
Menurut kalkulasinya, 11.000 hektare lahan itu bakal mampu memproduksi gabah mencapai 55.000 ton di sepanjang tahun ini. Di mana, tiap satu hektare diproyeksikan akan memproduksi sebanyak 5 ton gabah padi.
“Kalau 11.000 dikali lima kan kurang lebih sekitar 55.000 ton gabah. Itu adalah quick win yang akan kita lakukan sambil melakukan ekstensifikasi dan intensifikasi yang sudah kita rencanakan,” tambahnya.
Menanggapi hal itu, Pengamat Pertanian Syaiful Bahri mengaku masih belum melihat taji Agrinas dalam memacu produktivitas food estate tersebut. Pasalnya, wacana pengembangan food estate telah dilakukan sejak 2020 pada era Presiden Joko Widodo (Jokowi) namun hingga saat ini belum ada satu proyek pun yang mampu mendukung ketahanan pangan nasional.
Pada saat yang sama, dirinya juga menyoroti pemilihan wilayah Sumatra Selatan sebagai area food estate padi. Pasalnya, daerah tersebut dinilai memang secara alamiah telah menjadi sentra lumbung padi untuk pulau Sumatra.
“Lagi pula food estate dengan produksi 55.000 ton per tahun terlampau kecil. Kalau dihitung per hektar menghasilkan 5 ton, berarti luas lahannya hanya 11.000 hektar. Sementara luas lahan padi di Sumsel sudah di atas 500.000 hektare,” jelas Syaiful kepada Bisnis, Rabu (14/5/2025).
Terlebih, tambah Syaiful, mengacu pada data Badan Pusat Statistik (BPS) wilayah Sumatra Selatan 2024 telah memiliki luas panen padi mencapai 521.000 hektare dengan produksi mencapai 2,91 juta ton Gabah Kering Giling (GKG).
Senada, Pengurus Perhimpunan Ekonomi Pertanian Indonesia (Perhepi) Ronnie S. Natawidjaja juga mengaku masih skeptis dengan rencana Agrinas yang bakal menahkodai proses pengelolaan hingga produksi food estate.
Ronnie menyebut target produksi yang dibidik Agrinas itu bukanlah tidak mungkin untuk dicapai. Namun, pemerintah perlu secara lebih transparan merinci berapa biaya pengelolaan food estate tersebut.
“Kenapa pemerintah yang turun tangan langsung memproduksi pangan? mungkin saja dengan berbagai cara target produksi tersebut bisa dicapai, tapi dengan biaya berapa? apakah bisa lebih murah atau paling tidak sama dengan produksi petani? jangan-jangan malah lebih mahal dari beras impor?” jelasnya.
Sejalan dengan hal itu, Ronnie juga mengimbau agar pemerintah dapat mempertimbangkan kesejahteraan petani. Dia berharap, pengelolaan food estate oleh Agrinas dalam partai besar ini tidak menggerus kelolaan lahan petani – petani lokal.
“Katanya harus menghemat [efisiensi], malah dana pemerintah dihamburkan untuk hal yang bisa dilakukan oleh petani atau swasta. Saya setuju bahwa kita sebisanya harus bisa swasembada, tapi saya yakin caranya bukan pemerintah yang produksi,” pungkasnya.
Segudang Masalah Food Estate
Proyek Food Estate yang digaungkan oleh Pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) berjalan bukan tanpa kendala. Tantangan dan persoalan terus menghampiri. Berdasarkan catatan Bisnis, organisasi masyarakat sipil, Fian Indonesia pernah mendesak pemerintah untuk menghentikan proyek food estate di Sumatra Utara, Kalimantan Tengah, dan Papua.
Peneliti Fian Indonesia, Hana Saragih, menyampaikan, food estate bertentangan dengan agenda reforma agraria yang sejatinya merupakan realisasi dari pemenuhan hak atas pangan dan gizi.
“Food estate mempertahankan dan mendorong tingginya ketimpangan alokasi tanah sekaligus menggeser peran produsen pangan utama yaitu produsen pangan skala kecil sehingga mendorong pada pemiskinan,” kata Hana dalam keterangannya, dikutip Selasa (24/9/2024).
Program yang dijalankan atas nama ketahanan pangan itu dinilai memperparah konflik agraria. Sebab, kata Hana, prosesnya merampas hak atas tanah dan disertai dengan aksi intimidatif dari aparat negara. Secara struktural, deforestasi dan upaya budidaya tanaman pangan yang monokultur dan skala besar mengubah sistem hidup masyarakat tempatan.
Tantangan lainnya adalah pengembangan food estate seluas dua juta hektare (ha) di Merauke, Papua Selatan diperkirakan menghasilkan tambahan emisi karbon sebesar 782,45 juta ton CO₂ ekuivalen.
Studi terbaru dari Center of Economic and Law Studies (Celios) tersebut menunjukkan bahwa emisi tersebut setara dengan kerugian karbon senilai Rp47,73 triliun.
Celios menyebutkan proyek ini tidak hanya mendorong kenaikan ekstrem emisi karbon Indonesia, tetapi juga berpotensi meningkatkan kontribusi emisi karbon Indonesia secara global dari 2-3% menjadi 3,96-4,96% atau meningkat dua kali lipat.
Kebijakan yang memicu pelepasan karbon skala besar ini juga berpotensi menurunkan kepercayaan dunia terhadap komitmen Indonesia dalam kerangka Perjanjian Paris, yakni mencapai batas kenaikan suhu 1,5 derajat Celcius.
“Dengan asumsi kontribusi emisi karbon Indonesia meningkat hingga 2 sampai 3% akibat food estate di Merauke, kita berpotensi kehilangan waktu 5 sampai 10 tahun untuk mencapai target Net Zero Emission pada 2050,” kata irektur Kebijakan Publik Media Wahyudi Askar dalam siaran pers, Senin (9/12/2024).
Dia mengatakan potensi kenaikan emisi karbon dari proyek food estate menjadi alarm peringatan bahwa kebijakan pembangunan besar-besaran tanpa mempertimbangkan dampak lingkungan dapat menjadi bumerang.
“Ini tidak hanya berdampak negatif terhadap masyarakat asli Papua tetapi juga mempercepat krisis iklim global,” tambah Medua.