Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Pengusaha Beberkan Alasan Proyek DME Mandek di RI, Ini Biang Keroknya

APBI mengungkap sederet persoalan yang mengambat pengembangan proyek hilirisasi batu bara menjadi dimethyl ether (DME) di Indonesia. Apa saja hambatannya?
Truk membawa batu bara di tambang milik PT Bukit Asam Tbk (PTBA)  di Tanjung Enim, Kabupaten Muara Enim , Sumatra Selatan, Rabu (18/10/2023)./JIBI/Bisnis/Abdurachman
Truk membawa batu bara di tambang milik PT Bukit Asam Tbk (PTBA) di Tanjung Enim, Kabupaten Muara Enim , Sumatra Selatan, Rabu (18/10/2023)./JIBI/Bisnis/Abdurachman

Bisnis.com, JAKARTA — Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI) menyoroti masalah keekonomian dalam pengembangan proyek hilirisasi batu bara menjadi dimethyl ether (DME).

Hal ini merespons kabar terbaru dari proyek DME di Tanah Air yang selama ini masih jalan di tempat. Adapun kabar terbaru, PT Bukit Asam Tbk. (PTBA) menyebut perusahaan asal China, ECEC berminat menjadi investor menggantikan Air Product & Chemical Inc.

Namun, masih terdapat sejumlah tantangan dari sisi keekonomian. Menurut perhitungan PTBA, harga DME yang dapat dihasilkan yakni senilai US$911-US$987 per ton atau lebih besar dari harga patokan DME yang diusulkan oleh Kementerian ESDM pada 2021 yakni sebesar US$617 per ton yang merupakan harga pasar, tapi belum termasuk subsidi.

Plt Direktur Eksekutif APBI, Gita Mahyarani mengatakan, proyek DME memalukan capex atau belanja modal yang besar. Ini mencakup seluruh rantai produksi, mulai dari konversi batu bara menjadi syngas. 

Kemudian, menjadi produk turunan seperti amonia, urea, metanol, hingga DME yang harus dipikirkan sebagai seluruh proses. Menurut Gita, biaya investasi itu bahkan melampaui nilai pembangunan tambang.

"Dalam banyak kasus, besaran investasi ini bahkan bisa melampaui nilai pembangunan tambang batu bara konvensional," kata Gita kepada Bisnis, Selasa (6/5/2025).

Dia pun menyebut, tingginya biaya modal menjadi tantangan tersendiri dalam menarik minat investor. Apalagi, penerapan proyek DME memerlukan teknologi mutakhir.

"Implementasi proyek DME memerlukan transfer teknologi dan belum sepenuhnya tersedia atau dikuasai di dalam negeri," ucapnya.

Perkataan gitu memang bukan isapan jempol. Merujuk paparan PTBA, CEC yang telah menyampaikan preliminary proposal coal to DME pada November 2024 itu, mengusulkan Processing Service Fee (PSF) indikatif senilai US$412 hingga US$488 per ton. 

Angka tersebut lebih besar dibanding ekspektasi Kementerian ESDM, yakni senilai US$310 per ton.

Di sisi lain, harga DME yang dapat dihasilkan yakni senilai US$911-US$987 per ton.Angka ini juga lebih tinggi patokan DME yang diusulkan oleh Kementerian ESDM pada 2021 yakni sebesar US$617 per ton, belum termasuk subsidi.

Harga DME itu juga jauh lebih mahal dari rata-rata impor LPG ke Indonesia tercatat sebesar $435 per ton pada 2024. Padahal, diharapkan dapat menjadi alternatif energi bersih yang kompetitif dan dapat digunakan sebagai substitusi LPG bagi kebutuhan rumah, tangga, dan industri. 

Proyek DME sendiri dirancang untuk memanfaatkan sekitar 6 juta batu bara per tahun dengan target produksi sekitar 1,4 juta ton DME per tahun.

Direktur Utama PTBA Arsal Ismail memberikan perbandingan biaya subsidi LPG dengan DME apabila harga patokan DME US$911 per ton. Berdasarkan perhitungan, nilai subsidi untuk DME bisa mencapai US$710 per ton atau Rp123 triliun per tahun.

Angka tersebut lebih besar dibandingkan nilai subsidi untuk LPG pada kesetaraan DME saat ini sebesar US$474 per ton atau Rp82 triliun per tahun. Artinya, akan ada risiko kenaikan subsidi sebesar Rp41 triliun per tahun.

Selain itu, terdapat sejumlah tantangan teknis yang disampaikan oleh Pertamina sebagai offtaker proyek DME dalam Forum Satgas Hilirisasi yang kami lakukan rapat pada tanggal 19 Maret 2025.  

Adapun, tantangan dari Pertamina yakni terkait dengan kebutuhan konversi infrastruktur seperti jalur distribusi dan perangkat kompor rumah tangga yang kompatibel dengan DME.  

"Jadi jaraknya itu kurang lebih 172 kilometer serta perlunya kesiapan jaringan niaga dan distribusi bahan bakar alternatif ini secara luas," kata Arsal dalam Rapat Dengar Pendapat bersama Komisi XII DPR RI, Senin (5/5/2025).

Pihaknya berharap seluruh tantangan tersebut dapat diselesaikan melalui kajian yang komprehensif, objektif dan melibatkan semua pihak secara menyeluruh.  

"Kami PTBA tentunya terbuka terhadap evaluasi dan arahan lanjutan agar proyek ini dapat dikembangkan secara terukur, akuntabel dan memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi bangsa dan negara," ucap Arsal.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Bisnis Indonesia Premium.

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Bisnis Indonesia Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper