Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Harga Impor LPG Masih Lebih Murah Jadi Alasan Proyek DME Mandek

Salah satu alasan dibalik mandeknya proyek hilirisasi batu bara menjadi Dimethyl Ether (DME) atau pengganti LPG yakni nilai ekonomis yang belum tercapai.
Sejumlah pengecer atau warung kelontong di Jakarta  Selatan mulai menjual LPG 3 kilogram (kg) sejak statusnya naik menjadi sub-pangkalan, Jumat (7/2/2024) / Bisnis - Mochammad Ryan Hidayatullah
Sejumlah pengecer atau warung kelontong di Jakarta Selatan mulai menjual LPG 3 kilogram (kg) sejak statusnya naik menjadi sub-pangkalan, Jumat (7/2/2024) / Bisnis - Mochammad Ryan Hidayatullah

Bisnis.com, JAKARTA - PT Bukit Asam Tbk (PTBA) mengungkap alasan dibalik mandeknya proyek hilirisasi batu bara menjadi Dimethyl Ether (DME) atau pengganti LPG yakni nilai ekonomis yang belum tercapai. 

Direktur Utama PTBA Arsal Ismail mengatakan ongkos produksi proyek DME ini masih lebih tinggi dibandingkan harga jual yang dipatok Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dan lebih tinggi dari ongkos impor LPG. 

"Estimasi harga DME hasil produksi masih lebih tinggi dari harga patokan yang ditetapkan oleh Kementerian ESDM dan analisa perhitungan kami masih lebih tinggi dari harga LPG impor," kata Arsal dalam RDP Komisi XII DPR RI, Senin (5/5/2025).

Menurut perhitungan, harga DME yang dapat dihasilkan yakni senilai US$911-US$987 per ton atau lebih besar dari harga patokan DME yang diusulkan oleh Kementerian ESDM pada 2021 yakni sebesar US$617 per ton yang merupakan harga pasar, namun belum termasuk subsidi. 

Dengan demikian, masih terdapat gap atau selisih yang kurang lebih mencapai US$300 per ton DME yang berpotensi memperbesar nilai subsidi dari pemerintah. 

Di samping itu, Arsal memberikan perbandingan biaya subsidi LPG dengan DME apabila harga patokan DME US$911 per ton. Berdasarkan perhitungan, nilai subsidi untuk DME bisa mencapai US$710 per ton atau Rp123 triliun per tahun.

Angka tersebut lebuh besar dibandingkan nilai subsidi untuk LPG pada kesetaraan DME saat ini sebesar US$474 per ton atau Rp82 triliun per tahun. Artinya, akan ada risiko kenaikan subsidi sebesar Rp41 triliun per tahun. 

Kendati demikian, terdapat sejumlah tantangan teknis yang disampaikan oleh Pertamina sebagai offtaker proyek DME dalam Forum Satgas Hilirisasi yang kami lakukan rapat pada tanggal 19 Maret 2025. 

Adapun, tantangan dari Pertamina yakni terkait dengan kebutuhan konversi infrastruktur seperti jalur distribusi dan perangkat kompor rumah tangga yang kompatibel dengan DME. 

"Jadi jaraknya itu kurang lebih 172 kilometer serta perlunya kesiapan jaringan niaga dan distribusi ban bakar alternatif ini secara luas," imbuhnya. 

Pihaknya berharap seluruh tantangan tersebut dapat diselesaikan melalui kajian yang komprensif, objektif dan melibatkan semua pihak secara menyeluruh. 

"Kami PTBA tentunya terbuka terhadap evaluasi dan arahan lanjutan agar proyek ini dapat dikembangkan secara terukur, akuntabel dan memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi bangsa dan negara," jelansya. 


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Bisnis Indonesia Premium.

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Bisnis Indonesia Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper