Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Author

Lambang Wiji Imantoro

Peneliti Pratama-Kreston Tax Research Institute

Lihat artikel saya lainnya

OPINI : Mengejar Penerimaan Pajak di Tengah Stagnasi Ekonomi

Dana Moneter Internasional (IMF) dan Bank Dunia memproyeksikan pertumbuhan ekonomi Indonesia hanya berada di kisaran 5,1% untuk periode 2025–2029.
Ilustrasi perhitungan pajak. / dok. Freepik
Ilustrasi perhitungan pajak. / dok. Freepik

Bisnis.com, JAKARTA - Pemerintah melalui Undang-Undang Nomor 62 Tahun 2024 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2025 yang dirinci lewat Peraturan Presiden Nomor 201 Tahun 2025, menetapkan target penerimaan pajak sebesar Rp2.189,3 triliun. Target ambisius ini tampaknya tidak sejalan dengan realisasi terkini.

Pemerintah melalui Undang-Undang Nomor 62 Tahun 2024 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2025 yang dirinci lewat Peraturan Presiden Nomor 201 Tahun 2025, menetapkan target penerimaan pajak sebesar Rp2.189,3 triliun. Target ambisius ini tampaknya tidak sejalan dengan realisasi terkini.

Data Kementerian Keuangan mencatat penerimaan pajak hingga akhir Februari 2025 baru mencapai Rp187,8 triliun, turun sekitar 30,1% dibandingkan dengan periode sama tahun sebelumnya yang mencapai Rp269,02 triliun. Penurunan ini turut menekan penerimaan perpajakan secara keseluruhan menjadi Rp240,4 triliun atau turun 24,9% dari Rp320,51 triliun pada Februari 2024.

Melihat kondisi ini, wajar bila muncul pertanyaan: apakah target penerimaan tersebut realistis, atau hanya ambisi belaka di tengah ekonomi yang cenderung stagnan?

Sebelum menetapkan target tinggi, pemerintah perlu memperhatikan proyeksi pertumbuhan ekonomi. Dana Moneter Internasional (IMF) dan Bank Dunia memproyeksikan pertumbuhan ekonomi Indonesia hanya berada di kisaran 5,1% untuk periode 2025–2029. Ketergantungan terhadap konsumsi domestik dan ekspor komoditas mentah menjadi penyebab stagnasi tersebut.

Konsumsi rumah tangga, yang berkontribusi sekitar 54,53% terhadap PDB (BPS, kuartal II/2024), sangat memengaruhi penerimaan dari sektor Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Daya beli masyarakat yang stagnan akibat inflasi dan tidak naiknya pendapatan riil menyebabkan penurunan konsumsi, sehingga menghambat optimalisasi penerimaan PPN.

Pendapatan riil yang tidak sebanding dengan inflasi berarti daya beli masyarakat menurun, dan pada akhirnya mempersempit basis pemajakan. Kondisi ini terutama dirasakan oleh kelompok menengah ke bawah, yang menjadi penggerak utama konsumsi nasional.

Ketergantungan pada ekspor barang mentah, seperti batu bara dan minyak sawit, juga menimbulkan persoalan bagi penerimaan Pajak Penghasilan (PPh) Badan. Komoditas mentah memiliki nilai tambah rendah dan sangat dipengaruhi oleh fluktuasi harga global.

Ketika harga komoditas menurun, profitabilitas perusahaan ikut tertekan dan berdampak pada setoran pajaknya. Data Kemenkeu menunjukkan penerimaan pajak semester I/2024 turun 7,9% (yoy), dengan penurunan PPh Badan hingga 34,5%, akibat turunnya harga komoditas global.

Lebih dari itu, karena minimnya proses hilirisasi dalam negeri, potensi penerimaan dari sektor manufaktur hilir yang bernilai tambah tinggi juga ikut hilang. Indonesia kehilangan peluang untuk memaksimalkan pajak dari kegiatan ekspor produk olahan, baik dari sisi PPh maupun PPN.

Masalah struktural lain adalah rendahnya tax ratio Indonesia yang hingga Oktober 2024 masih bertahan di angka 10,02%. Bank Dunia bahkan menyebut Indonesia belum mampu mencapai target 11%. Rendahnya tax ratio menunjukkan masih banyak aktivitas ekonomi yang belum tercakup dalam sistem perpajakan.

Kontribusi besar sektor informal menjadi salah satu penyebab utama. BPS mencatat pada 2024 sebanyak 59,17% tenaga kerja Indonesia bekerja di sektor informal. Artinya, lebih dari separuh aktivitas ekonomi berlangsung di luar sistem pencatatan resmi.

Tanpa mekanisme pelaporan yang terintegrasi, pelaku sektor informal jarang—bahkan tidak pernah—melaporkan penghasilannya untuk dikenai pajak. Sebuah penelitian oleh Rothenberg et al. (2016) bahkan menunjukkan 93% perusahaan di Indonesia bersifat informal.

Ketika sektor informal mendominasi, maka sektor formal menjadi satu-satunya andalan penerimaan pajak. Jika sektor formal terdampak krisis atau mengalami perlambatan, maka potensi penurunan penerimaan pajak tidak dapat dihindari karena basis pajaknya sempit dan tidak merata.

Agenda Perubahan

Untuk mencapai target penerimaan yang ambisius, diperlukan perubahan kebijakan dan penguatan sistem yang terstruktur. Optimalisasi PPN dapat dicapai dengan memperkuat daya beli masyarakat melalui pengendalian inflasi dan peningkatan pendapatan riil.

Selain itu, hilirisasi industri harus didorong dengan pemberian insentif fiskal agar ekspor Indonesia tidak lagi didominasi barang mentah, melainkan produk bernilai tambah tinggi. Ini penting untuk memperluas basis PPh dan PPN dari sektor manufaktur.

Percepatan formalisasi sektor informal juga menjadi prioritas, salah satunya melalui digitalisasi pencatatan keuangan dan integrasi sistem perpajakan. Inovasi teknologi berbasis digital dapat mendorong pencatatan pendapatan secara otomatis dan mendorong kepatuhan secara sukarela.

Peningkatan pengawasan pajak berbasis data juga menjadi kebutuhan mendesak. Digitalisasi sistem perpajakan memungkinkan pengumpulan data yang lebih akurat dan transparan, sekaligus memperkuat kepercayaan publik terhadap sistem perpajakan nasional.

Namun demikian, keberhasilan mencapai target penerimaan tidak hanya bertumpu pada kebijakan fiskal semata, melainkan pada kolaborasi semua pihak—pemerintah, dunia usaha, dan masyarakat. Tanpa upaya kolektif yang nyata, Indonesia berisiko terjebak dalam stagnasi jangka panjang dan kehilangan momentum penting dalam mendorong pertumbuhan ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Bisnis Indonesia Premium.

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Bisnis Indonesia Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper