Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Penjualan Rokok Dibatasi, Produsen Rokok & Peritel Segera Ajukan Judicial Review

Produsen rokok menilai kebijakan tersebut akan mengurangi lapangan pekerjaan hingga risiko target pertumbuhan ekonomi tak tercapai.
Karyawan menyusun bungkus rokok bercukai di Jakarta. Bisnis/Eusebio Chrysnamurti
Karyawan menyusun bungkus rokok bercukai di Jakarta. Bisnis/Eusebio Chrysnamurti

Bisnis.com, JAKARTA — Kalangan produsen rokok atau hasil tembakau dan peritel kompak akan mengajukan permohonan uji materil atau judicial review atas aturan pembatasan penjualan rokok. 

Kebijakan tersebut tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2024 (PP 28/2024) sebagai peraturan pelaksanaan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 (UU 17/2023) tentang Kesehatan yang disahkan sejak pertengahan tahun lalu.

Ketua Gabungan Produsen Rokok Putih Indonesia (Gaprindo), Benny Wachjudi, mengatakan pihaknya cemas kebijakan tersebut akan mengurangi lapangan pekerjaan hingga risiko target pertumbuhan ekonomi tak tercapai. 

Terlebih, produsen rokok juga mengaku belum mendapat sosialisasi yang jelas dari aturan tersebut. Menurut dia, dalam merumuskan aturan, pemerintah perlu mempertimbangkan ratusan ribu tenaga kerja yang terlibat, termasuk petani, buruh dan lainnya. 

“Kemudian jangan lupa dengan kontribusi Cukai Hasil Tembakau sekitar lebih dari Rp200 triliun per tahun," kata Benny dalam keterangan resmi, Kamis (24/4/2024). 

Selama ini, dia menilai industri hasil tembakau (IHT) banyak membantu dalam penerimaan negara lewat cukai senilai Rp216,9 triliun pada 2024. Angka tersebut dapat turun drastis jika aturan teknis diberlakukan. 

Sentimen aturan dasar yang disahkan setahun terakhir terus menekan industri. Bahkan, pihaknya mulai pesimis target pertumbuhan ekonomi 8% dapat terwujud.

“Khawatirnya, dengan aturan-aturan seperti ini, 50% dari target pertumbuhan ekonomi juga tidak akan tercapai jika industri tembakau dihilangkan pada saat ini," tuturnya.

Secara khusus, dia menyinggung regulasi larangan penjualan rokok dalam radius 200 meter dari satuan pendidikan dan tempat bermain anak menimbulkan ketidakpastian hukum bagi pelaku usaha.

“Judicial review adalah langkah tepat. Gaprindo mendukung rencana judicial review karena dampak langsung terasa kepada pedagang. Jika pedagang terganggu, industri juga akan terganggu," terangnya.

Senada, Ketua Umum Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok (GAPPRI), Henry Najoan, mengkritik PP 28/2024 yang mengadopsi kebijakan asing tanpa mempertimbangkan konteks lokal di Indonesia. 

Henry menilai kebijakan yang membatasi penjualan rokok dan hasil tembakau dapat menghilangkan sejarah budaya lokal kretek di Indonesia.

"Dengan mengadopsi peraturan-peraturan global, sejarah keberadaan budaya lokal kretek terancam hilang dari negara kita," ujar Henry. 

Di sisi lain, merujuk pada Kajian dari Institute for Development of Economics and Finance(INDEF), tekanan industri hasil tembakau makin berlanjut dengan diterapkannya larangan penjualan rokok dalam radius 200 meter dari sekolah dan tempat bermain anak, larangan pemajangan iklan rokok pada media luar ruang, hingga wacana penyeragaman kemasan rokok tanpa identitas merek. 

Jika ketiga skenario ini diberlakukan, maka terdapat potensi ancaman PHK massal terhadap 2,3 juta pekerja atau sekitar 1,6% dari total penduduk yang bekerja. Sementara, khusus dampak dari larangan penjualan rokok dalam radius 200 meter maka akan dirasakan oleh 33,08% dari total ritel, atau sekitar 734.799 pekerja. 

Kepala Center of Industry, Trade and Investment, INDEF, Andry Satrio Nugroho mengatakan pendapatan pemerintah, baik pusat maupun daerah, juga akan berkurang. Pasalnya, ritel di daerah juga bayar pajak dan retribusi. Apalagi, ritel kecil dapat meraih keuntungan dari hasil penjualan rokok sebesar 30% dari keseluruhan keuntungan yang didapatkan oleh ritel tersebut. 

“Jadi, jika kinerja ritel menurun, pajak dan retribusi yang diberikan kepada daerah juga pasti akan berkurang. Ini tentu akan menurunkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dari daerah tersebut," ujar Andry. 

Berkurangnya pendapatan tidak hanya berdampak pada penurunan produksi, tetapi juga potensi meningkatnya peredaran rokok ilegal. Pemerintah harus memikirkan cara agar rokok ilegal yang tidak memberikan pendapatan cukai bagi negara bisa lebih ditekan.

"Tentu rokok ilegal pasti akan semakin berkembang. Selain larangan penjualan di ritel, larangan beriklan juga pasti akan menurunkan PAD. Pemerintah daerah harus bersiap menghadapi konsekuensi ini jika regulasi tersebut disahkan atau berlaku," jelasnya.  

Sebelumnya, rencana pengajuan judicial review juga diangkat oleh Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo), Solihin yang menyebut belum ada edukasi yang jelas dari Kementerian terkait dalam pelaksanaannya di lapangan.

”Sampai saat ini belum ada dialog mengenai hal itu, tiba-tiba [aturannya] sudah keluar. Salah satu langkah kami adalah judicial review, tapi kita lihat dulu apakah ada penyesuaian dalam peraturan pelaksananya yang berasal dari masukan pengusaha, terutama ritel,” pungkasnya. 


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Bisnis Indonesia Premium.

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Bisnis Indonesia Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper