Bisnis.com, JAKARTA — Moratorium kenaikan cukai hasil tembakau (CHT) untuk 2-3 tahun ke depan disebut dapat menjadi langkah untuk memperbaiki penerimaan negara dari cukai yang belakangan mengalami penyusutan.
Merujuk pada data Dirjen Bea dan Cukai (DJBC) kontribusi cukai rokok masih menjadi yang terbesar. Pada 2022, realisasi cukai rokok mencapai Rp218,6 triliun, kemudian turun menjadi Rp213,48 triliun pada 2023, dan mencapai Rp216,9 triliun pada 2024.
Kepala Pusat Industri Perdagangan dan Investasi Indef Andry Satrio Nugroho mengatakan pihaknya memproyeksi dengan kondisi maraknya rokok ilegal imbas cukai tinggi yang memicu harga rokok legal mahal, maka akan berdampak pada penerimaan negara ke depannya.
“Peningkatan rokok ilegal itu menjadi salah satu hal yang menurut saya justru meningkatkan risiko terhadap turunnya penerimaan dari cukai,” kata Andry kepada Bisnis, Rabu (18/6/2025).
Adapun, penindakan terhadap rokok ilegal pada 2024 mencapai 20.000 kasus, sedangkan pada 2023 dan 2022 masing-masing di angka 22.000 kasus dengan total 752 juta batang rokok ilegal diamankan.
Pada kuartal I/2025, DJBC juga melakukan 2.928 penindakan dengan total 257,27 juta batang rokok ilegal yang disita dan nilai ekonominya berkisar Rp367 miliar.
Baca Juga
Untuk itu, dia mendukung moratorium atau penangguhan sementara kenaikan tarif cukai selama 2–3 tahun sebagai solusi untuk memperbaiki penerimaan negara yang dinilai tidak optimal dalam beberapa tahun terakhir.
Usulan ini muncul seiring dengan kekhawatiran terhadap terus menurunnya efektivitas kebijakan cukai akibat meningkatnya peredaran rokok ilegal.
“Pertama yang saya ingin tekankan adalah tentunya kita apresiasi kepada pemerintah yang sudah menerapkan cukai secara multi-year. Artinya perusahaan atau para pelaku industri dari tembakau ini bisa menghitung terkait dengan setoran cukai yang akan datang,” ujarnya.
Namun, dia menyoroti bahwa kenaikan tarif cukai yang tinggi tidak serta merta mendongkrak penerimaan negara. Sebaliknya, tingginya tarif justru memperlebar selisih harga antara rokok legal dan ilegal, sehingga konsumen cenderung beralih ke produk tanpa cukai.
Di sisi lain, kebijakan moratorium juga disebut dapat memberikan ruang bagi industri untuk beradaptasi dan kembali memperkuat fondasi usahanya.
Sementara itu, pemerintah bisa menggunakan waktu tersebut untuk mengevaluasi kebijakan cukai secara menyeluruh agar lebih seimbang antara penerimaan negara dan keberlangsungan industri.
“Kalau hanya dari sisi law enforcement pastinya akan membutuhkan biaya yang cukup besar. Maka yang perlu digali adalah bagaimana dari sisi regulasi kebijakan cukainya itu sendiri, mencari titik tengah,” ujarnya.
Jika kebijakan saat ini terus berlanjut tanpa penyesuaian, dia memperingatkan bahwa bukan hanya penerimaan negara yang terancam hilang, tetapi juga penyerapan tenaga kerja dan dampak ekonomi di wilayah sentra industri tembakau.