Bisnis.com, JAKARTA - Sejumlah konsekuensi menanti jika Indonesia merelaksasi aturan Tingkat Kandungan Dalam Negeri (TKDN) terhadap produk Amerika Serikat (AS). Salah satunya adalah Indonesia berpotensi makin bergantung dengan produk impor dari Negeri Paman Sam tersebut.
Senior Consultant dan Analis Pasar Smartphone dari Reasense, Aryo Meidianto Aji mengatakan bahwa relaksasi ketentuan TKDN dapat meningkatkan ketergantungan pada komponen impor, yang berisiko menghambat pengembangan industri lokal dan inovasi.
Aryo menuturkan, kebijakan TKDN yang sebelumnya ada memberikan insentif bagi industri lokal untuk menciptakan komponen-komponen ponsel yang diproduksi di dalam negeri.
“Jangan sampai relaksasi ini berimbas pada perusahaan lokal yang menyumbang bagian dari produksi ponsel di Indonesia,” ujar Aryo kepada Bisnis, Selasa (8/4/2025).
Aryo pun mengingatkan risiko terjadinya kecemburuan jika relaksasi TKDN eksklusif untuk AS. Sebab, sambungnya, produsen ponsel dari negara lain, seperti Korea Selatan dan China dapat meminta perlakuan serupa berdasarkan prinsip kesetaraan dalam perdagangan internasional.
“Produsen dari negara-negara tersebut juga akan merasakan dampak dari tarif tinggi dan mungkin berusaha untuk mendapatkan keuntungan kompetitif melalui negosiasi serupa,” ucap Aryo.
Baca Juga
Senada, pemerhati pasar gawai Herry SW menuturkan kebijakan TKDN bagi ICT ini tidak boleh hanya diterapkan kepada AS agar industri ponsel tanah air tetap sehat.
"Kalau pun akhirnya jadi, semoga berlaku untuk semua merek. Berlaku untuk semua merek pun sebenarnya tetap tidak sehat untuk industri,” ujar Herry.
Kekhawatiran serupa juga dialami para pelaku industri komponen otomotif. Sekjen Gabungan Industri Alat Mobil dan Motor (GIAMM) Rachmat Basuki menyoroti potensi banjirnya produk komponen otomotif dari China ke pasar Indonesia akibat kebijakan dagang Amerika terhadap China.
Sekjen Rachmat Basuki menyoroti potensi banjirnya produk komponen otomotif dari China ke pasar Indonesia akibat kebijakan dagang Amerika terhadap China.
"Produk-produk murah dari China, terutama untuk kebutuhan aftermarket, dikhawatirkan akan melemahkan daya saing produk lokal," ujar Rachmat dalam keterangannya dikutip Selasa (8/4/2025).
Mengacu data Badan Pusat Statistik (BPS) impor dari China untuk kategori kendaraan bermotor dan komponen otomotif (HS 87) serta HS 98 (incompletely knocked down/IKD) tembus sebesar US$331,02 juta pada Januari 2025.
Secara terperinci, impor kendaraan dan komponen otomotif yang tertera pada HS 87 sebesar US$320,34 juta, sedangkan kategori HS 98 senilai US$10,68 juta.
Oleh sebab itu, GIAMM menilai perlu adanya langkah strategis pemerintah dalam menyikapi situasi ini. Mengingat, ekspor komponen otomotif Indonesia ke Amerika Serikat saat ini menempati posisi kedua terbesar setelah Jepang.
“Ini tentu berdampak besar bagi industri kita, karena sebelumnya tarif masuk ke AS relatif kecil. Sementara produk Amerika yang masuk ke Indonesia dikenakan tarif yang jauh lebih tinggi," katanya.
Alhasil, GIAMM mengusulkan pendekatan timbal balik atau tarif resiprokal sebagai solusi jangka pendek yang lebih adil.
“Kalau mereka kenakan tarif tinggi, kita pun perlu menyesuaikan. Tarif dibalas tarif, tapi juga jangan lupa opsi lain seperti menurunkan tarif untuk produk AS agar terjadi keseimbangan,” ujar Basuki.
Penguatan Industri Lokal
Skenario terburuk dari keran impor yang terbuka lebar adalah industri lokal yang tak mampu bersaing. Alhasil, penguatan industri lokal harus dilakukan paralel dengan relaksasi aturan terkait impor, baik dari AS maupun negara lainnya.
Wakil Ketua Umum Asosiasi Industri Olefin, Aromatik dan Plastik Indonesia (Inaplas) Edi Rivai mengatakan bahwa pemerintah perlu memberikan perlindungan terhadap pasar domestik untuk menjaga daya saing industri Indonesia, terutama di sektor kimia dan petrokimia.
Menurutnya, dengan posisi Indonesia yang memiliki pasar besar dan daya beli yang relatif kuat, maka RI berpotensi menjadi tujuan ekspor bagi banyak negara yang terkena dampak kebijakan tarif AS.
"Hal ini dapat menyebabkan banjir barang impor yang dapat merugikan industri dalam negeri, mengancam keberlangsungan dan daya saing sektor-sektor strategis seperti kimia dan petrokimia,” ujar Edi dalam keterangannya, Jumat (4/4/2025).
Selain melindungi industri lokal dari banjir barang impor, Inaplas juga menekankan pentingnya mempertahankan kebijakan TKDN.
“Bagi sektor kimia dan petrokimia, penerapan TKDN bukan hanya soal keberpihakan, tapi juga strategi jangka panjang untuk mengurangi ketergantungan impor, memperkuat penggunaan bahan baku lokal, dan membangun ekosistem industri yang berkelanjutan yang dapat menyerap tenaga kerja di Indonesia,” ujarnya.
Lebih lanjut dia mengatakan, Inaplas ini juga mendorong pemerintah untuk mengembalikan 12 pos tarif HS Code 39 yang sebelumnya telah dihapus sebelumnya dalam kebijakan pengendalian barang impor Peraturan Menteri Perdagangan No. 36 Tahun 2023.
Sebab, penghapusan kode yang berkaitan erat dengan bahan baku plastik ini membuka keran impor produk substitusi yang melemahkan industri lokal. Menurutnya, dengan pemulihan HS Code ini, daya saing industri plastik nasional dapat tetap terjaga di tengah gempuran produk asing.
“Dengan langkah cepat dan responsif, Indonesia dapat mencegah kerugian lebih jauh di sektor industri nasional atas pasar alternatif oleh negara lain seperti Thailand, Vietnam, Malaysia, dan Cina ke Indonesia sebagai dampak kebijakan tarif Presiden Trump,” pungkas Edi.
Seperti diketahui, Presiden AS Donald Trump akhirnya memberlakukan pengenaan tarif dasar 10% untuk semua produk impor ke Amerika Serikat (AS) dan bea masuk yang lebih tinggi untuk belasan mitra dagang terbesar di negara tersebut untuk mengurangi defisit.
China mendapat tarif baru 34%, sementara Uni Eropa 20%. Pengenaan tarif resiprokal itu sebagai tanggapan atas bea masuk yang dikenakan pada barang-barang AS.
Adapun, Kamboja menjadi negara yang mendapat tarif tertinggi, yakni 49%. Posisi kedua diduduki Vietnam dengan 46%. Sri Lanka mendapat tarif resiprokal 44%, Bangladesh 37%, Thailand 36%, dan Taiwan 32%. Sementara itu, Indonesia menerima tarif resiprokal sebesar 32%.
Tarif tersebut akan mulai berlaku mulai 9 April 2025 dan akan diterapkan kepada 60 negara secara keseluruhan. Kanada dan Meksiko, dua mitra dagang terbesar AS, sudah menghadapi tarif 25% untuk banyak barang yang masuk ke AS.