Bisnis.com, JAKARTA — Pemerintah Amerika Serikat memastikan Presiden Donald Trump akan mengumumkan kebijakan tarif baru pada Rabu (2/4/2025) waktu setempat, yang akan berdampak ke lebih banyak negara. Lantas, apakah posisi Indonesia aman?
Juru Bicara Gedung Putih Karoline Leavitt mengatakan fair reciprocal tariff alias tarif timbal balik akan berlaku segera setelah Trump mengumumkannya, sementara tarif sebesar 25% pada impor mobil akan berlaku pada tanggal 3 April.
"Presiden memiliki tim penasihat yang brilian yang telah mempelajari masalah ini selama beberapa dekade, dan kami berfokus untuk memulihkan zaman keemasan Amerika," kata Leavitt dalam jumpa pers dilansir dari Reuters, Rabu (2/4/2025).
Kendati demikian, peneliti senior Departemen Ekonomi CSIS Deni Friawan menilai pemerintah tidak perlu terlalu mengkhawatirkan dampak penerapan tarif perdagangan secara timbal-balik oleh Amerika Serikat terhadap negara lain.
Deni menjelaskan rencana penerapan fair reciprocal tariff oleh Trump merupakan kebijakan yang lazim dan sesuai dengan ketentuan tarif most favored nation (MFN) yang berlaku secara multilateral.
Intinya, dasar pengenaan fair reciprocal tariff adalah tarif yang dikenakan oleh Indonesia terhadap produk dari AS.
Baca Juga
"Jadi dari sisi ini harusnya tidak akan ada perubahan tarif yang signifikan oleh AS terhadap produk-produk Indonesia," ujar Deni kepada Bisnis.com, dikutip Rabu (2/4/2025).
Menurutnya, yang perlu dikhawatirkan bukan penerapan fair reciprocal tariff tetapi penerapan tambahan tarif sebesar 10%—20% untuk semua barang yang masuk ke AS. Masalahnya, Indonesia merupakan negara peringkat ke-15 yang memiliki surplus perdagangan dengan AS.
Memang menurut Washington Post, para ajudan Trump sedang mempertimbangkan rencana yang akan menaikkan bea masuk atas produk sekitar 20% dari hampir semua negara—bukan menargetkan negara atau produk tertentu.
Selain itu, Deni khawatir apabila AS meninjau atau merubah fasilitas generalized system of preferences (GSP) ke Indonesia seperti yang sudah terjadi kepada India dan Turki.
"Ini dampaknya bisa signifikan karena pada 2023, US$3,56 miliar ekspor Indonesia itu memanfaatkan skema GSP ini," jelasnya.
Deni menambahkan, pemerintah juga perlu mengantisipasi dampak tidak langsung dari perang dagang yang diinisiasi oleh Trump tersebut.
Dia mencontohkan, kemungkinan besar ekspor dari mitra dagang Indonesia seperti China, Jepang, dan lainnya akan ke AS akan turun. Akibatnya, menurut Deni, ekspor Indonesia ke negara-negara tersebut juga berpotensi turun.
Pengajar di Prasetya Mulya Business School itu pun menilai pemerintah Indonesia perlu melakukan diversifikasi pasar seperti dengan mempercepat penyelesaian kesepakatan Indonesia-European Union Comprehensive Economic Partnership Agreement (IEU-CEPA).
Selain itu, perlu adanya daya saing produk domestik hingga perkuat negosiasi dan diplomasi perdagangan khususnya secara bilateral dengan AS. Dia pun mengapresiasi apabila Kementerian Perdagangan sudah menyiapkan sejumlah strategi tersebut.
"Yang terpenting sekarang adalah implementasi dan realisasi dari rencana strategi tersebut. Jadi tidak hanya sekedar uraian 'di atas kertas' saja," tutup Deni.