Bisnis.com, JAKARTA --- Laporan data yang disampaikan Menteri Keuangan Sri Mulyani mengenai kondisi industri tekstil dan produk tekstil (TPT) yang tumbuh dan menunjukkan pemulihan ditepis oleh kalangan pengusaha. Hal ini lantaran data tersebut dinilai tidak sesuai dengan fakta di lapangan.
Dalam konferensi pers APBN Kita Maret 2025, Kamis (13/3/2025), Sri Mulyani memaparkan bahwa industri TPT mampu tumbuh 4,3% year-on-year (yoy) pada 2024, dari sebelumnya terkontraksi 2% yoy. Pertumbuhan ini ditopang oleh ekspor yang naik 3,8% dan permintaan domestik.
"Bahkan TPT yang walaupun ada berita perusahaan mengalami kebangkrutan, tapi TPT kita tumbuh 4,3% di tahun 2024 dibandingkan tahun sebelumnya yang negatif 2%," kata Sri Mulyani.
Menurutnya, pertumbuhan industri TPT dan sektor yang menjadi kontributor utama manufaktur lain, seperti industri makanan dan minuman, kimia, elektronik, logam dasar, dan alas kaki, itu mencerminkan bahwa kondisi industri manufaktur Indonesia masih cukup kuat.
"Ini menggambarkan produksi dan aktivitas manufaktur indonesia tetap mampu bertahan dan bahkan cukup kuat. Dia bahkan bisa tumbuh," kata Sri Mulyani.
Ketua Umum Ikatan Pengusaha Konveksi Berkarya (IPKB) Nandi Herdiaman mempertanyakan korelasi antara data yang disampaikan bendahara negara tersebut dengan kondisi di lapangan.
Baca Juga
Sebab, Nandi menyebut dalam 2 tahun terakhir seluruh anggotanya mengalami sepi pesanan, bahkan sebagian besar sudah merumahkan karyawan karena harus beroperasi di bawah 50%. Hal ini terjadi nyaris di seluruh sentra industri kecil dan menengah (IKM).
“IKM ambruk, industri menengah besar yang tutup ada 60, PHK ratusan ribu, mana mungkin pertumbuhannya positif?” kata Nandi, Senin (17/3/2025).
Nandi menganggap bahwa data yang disampaikan Menkeu terdapat kekeliruan karena berbeda jauh dengan fakta di lapangan. Apalagi, industri makin tertekan sejak terbitnya Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) No. 8/2024 yang merelaksasi impor diberlakukan.
Menurut dia, Sri Mulyani mestinya fokus pada pemberantasan mafia impor ditubuh bea cukai untuk menyelamatkan sektor TPT nasional daripada mencari pembenaran lewat data yang tak sesuai fakta.
Sementara itu, Ketua Umum Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filament Indonesia (APSyFI) Redma Gita Wirawasta mengatakan, data pertumbuhan yang dipaparkan tersebut dinilai tidak utuh.
Namun, Redma menyebut data kinerja ekspor dan impor industri dari BPS tidak sepenuhnya salah lantaran didapatkan dari Direktorat Bea dan Cukai, Kemenkeu.
Terkait dengan ekspor yang naik 3,8% yoy dan permintaan domestik yang diklaim sebagai penopang pertumbuhan, Redma membenarkan data tersebut.
“Tapi ekspor ini terkait dengan harga bahan baku, kalau bahan baku naik pasti harga jual juga naik dan tidak ada hubungan dengan volume, sedangkan utilisasi dan penyerapan tenaga kerja kan dihitungnya berdasarkan volume" jelas Redma.
Sama halnya dengan permintaan domestik yang dinilai APSyFI masih cukup baik, hanya saja sebagian besar yang dikonsumsinya adalah barang impor.
Di sisi lain, Redma lebih mengkhawatirkan turunnya kepercayaan investor dari kekeliruan data ini, sebab dari 60 perusahaan yang tutup beberapa di antaranya adalah penanaman modal asing (PMA).
“Jika data yang disajikan pemerintah berbeda 180 derajat dengan realita di lapangan tentu jadi pertanyaan investor" ungkapnya.
Tanda-tanda Sunset Industry TPT
Riset IFG Progress, lembaga think tank Indonesia Financial Group (IFG), mengungkapkan bahwa industri tekstil dan garmen Indonesia menghadapi tantangan serius akibat kombinasi faktor struktural dan siklus ekonomi. Penurunan kapasitas produksi, PHK massal, serta meningkatnya tekanan impor, terutama dari China, mengindikasikan bahwa industri tekstil semakin dekat dengan fase sunset industry.