Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Pabrik Tutup-PHK Marak, Produsen Tekstil Geram Sri Mulyani Klaim Industri Kuat

Kalangan pengusaha tekstil menolak klaim Menteri Keuangan Sri Mulyani yang menyebut industri dalam kondisi baik di tengah maraknya pabrik tutup dan PHK.
Karyawan beraktivitas di salah satu pabrik di Jawa Barat. Bisnis/Bisnis
Karyawan beraktivitas di salah satu pabrik di Jawa Barat. Bisnis/Bisnis

Bisnis.com, JAKARTA — Kalangan pengusaha tekstil dan produk tekstil (TPT) membantah data yang dipaparkan Menteri Keuangan Sri Mulyani dalam konferensi pers APBN Kita Maret 2025 yang menyebut bahwa industri dalam keadaan baik-baik saja dan tumbuh positif. 

Ketua Umum Ikatan Pengusaha Konveksi Berkarya (IPKB) Nandi Herdiaman mengatakan, pihaknya mempertanyakan korelasi antara data yang disampaikan bendahara negara tersebut dengan kondisi di lapangan. 

Sebab, Nandi menyebut dalam 2 tahun terakhir seluruh anggotanya mengalami sepi pesanan, bahkan sebagian besar sudah merumahkan karyawan karena harus beroperasi di bawah 50%. Hal ini terjadi nyaris di seluruh sentra industri kecil dan menengah (IKM). 

“IKM ambruk, industri menengah besar yang tutup ada 60, PHK ratusan ribu, mana mungkin pertumbuhannya positif?” kata Nandi, Senin (17/3/2025). 

Nandi menganggap bahwa data yang disampaikan Menkeu terdapat kekeliruan karena berbeda jauh dengan fakta di lapangan. Apalagi, industri makin tertekan sejak terbitnya Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) No. 8/2024 yang merelaksasi impor diberlakukan. 

Menurut dia, Sri Mulyani mestinya fokus pada pemberantasan mafia impor ditubuh bea cukai untuk menyelamatkan sektor TPT nasional daripada mencari pembenaran lewat data yang tak sesuai fakta. 

Untuk diketahui, dalam konfrensi pers pada Kamis (13/3/2025) di Jakarta, Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan bahwa meski terdapat pabrik tekstil yang tutup, industri TPT masih dalam keadaan kuat dengan pertumbuhan 4,3% year-on-year (yoy) pada 2024. Pertumbuhan ini ditopang oleh ekspor yang naik 3,8% dan permintaan domestik.

Menurut Sri Mulyani, kondisi tersebut menunjukkan bahwa hingga akhir 2024, industri manufaktur yang menyerap tenaga kerja banyak seperti TPT dan alas kaki masih cukup kuat. 

Sementara itu, Ketua Umum Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filament Indonesia (APSyFI) Redma Gita Wirawasta mengatakan, data pertumbuhan yang dipaparkan tersebut dinilai tidak utuh. 

Namun, Redma menyebut data kinerja ekspor dan impor industri dari BPS tidak sepenuhnya salah lantaran didapatkan dari Direktorat Bea dan Cukai, Kemenkeu. 

Terkait dengan ekspor yang naik 3,8% yoy dan permintaan domestik yang diklaim sebagai penopang pertumbuhan, Redma membenarkan data tersebut. 

“Tapi ekspor ini terkait dengan harga bahan baku, kalau bahan baku naik pasti harga jual juga naik dan tidak ada hubungan dengan volume, sedangkan utilisasi dan penyerapan tenaga kerja kan dihitungnya berdasarkan volume" jelas Redma. 

Sama halnya dengan permintaan domestik yang dinilai APSyFI masih cukup baik, hanya saja sebagian besar yang dikonsumsinya adalah barang impor.

Di sisi lain, Redma lebih mengkhawatirkan turunnya kepercayaan investor dari kekeliruan data ini, sebab dari 60 perusahaan yang tutup beberapa di antaranya adalah penanaman modal asing (PMA). 

“Jika data yang disajikan pemerintah berbeda 180 derajat dengan realita di lapangan tentu jadi pertanyaan investor" ungkapnya.

Senada, Direktur Eksekutif Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam (KAHMI) Rayon Tekstil Agus Riyanto mengatakan bahwa data yang dipakai Menkeu sangat keliru karena tidak memasukan data impor yang masuk secara ilegal. 

Berdasarkan data trademap memperlihatkan gap perdagangan TPT selisihnya pada 2024 sekitar US$1,7 miliar. Apabila angka tersebut masuk dalam perhitungan maka akan mengubah neraca perdagangan TPT. 

“Tapi kan barangnya masuk dan beredar dipasar dalam negeri, jadi survei konsumsi BPS memasukan barang impor ilegal ini sebagai produksi dalam negeri, maka wajar kalau angka pertumbuhan industri TPT versi BPS jadi positif” ujar Agus. 

Terlebih jika dikorelasikan dengan data dari asosiasi, di mana tingkat utilisasi produksi TPT rata-rata nasional terus turun dari 74,4% pada 2022, menjadi 63,8% pada 2023 dan 56,3% pada 2024. 

Agus pun mengkritik sikap Menkeu sebagai ekonom yang tidak jeli terhadap aktivitas ekonomi ilegal. 

“Dan untuk menutupi kinerja buruk bea cukai, Bu Sri sangat senang mem-publish data ini. Tertutupnya mata sang ekonom membuat rasio pajak kita sangat rendah, dan pertumbuhan ekonomi pas-pasan karena koleksi pendapatan yg rendah" ujarnya.

Lebih lanjut, Direktur Eksekutif Yayasan Konsumen Tekstil Indonesia (YKTI) Ardiman Pribadi membenarkan bahwa berdasarkan pantauannya, barang-barang impor saat ini menguasai pasar domestik. 

Kondisi tersebut sangat mudah terlihat lantaran barang-barang impor masuk dengan label menggunakan aksara mandarin. Padahal, aturan resmi Kemendag telah melarang penggunaan label berbahasa asing. 

“Kita lihat di Mangga Dua, Tanah Abang dan disemua ITC di Jakarta, Bandung, Semarang, Surabaya dan berbagai kota di Sumatera, Sulawesi, Kalimantan sampai pada platform online, sekitar 70%-nya adalah barang impor,” jelasnya.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Bisnis Indonesia Premium.

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Bisnis Indonesia Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper