Bisnis.com, JAKARTA - Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filamen (APSyFI) menyebut tak banyak perusahaan tekstil dan produk tekstil (TPT) yang sanggup untuk membayarkan tunjangan hari raya (THR) kepada pegawainya. Hal ini disebabkan arus kas yang macet imbas permintaan yang tergerus.
Ketua Umum APSyFI Redma Gita Wirawasta mengatakan, jelang Lebaran akan ada banyak perusahaan tekstil yang bakal melakukan negosiasi bipartit atau kesepakatan antara pengusaha dan pekerjanya terkait persoalan THR.
"Meski pemerintah paksa bayar THR, bahkan jika pabriknya harus ditutup paksa oleh pemerintah karena kesulitan bayar THR, banyak perusahaan TPT akan pasrah," kata Redma kepada Bisnis, (13/3/2025)
Pasalnya, Redma menerangkan bahwa dalam 2 tahun terakhir, perusahaan TPT banyak yang menjual produknya di bawah harga produksi lantaran berkompeitisi dengan produk ilegal murah di pasar.
Alhasil, cashflow atau arus kas perusahaan tekstil terus tergerus. Tak sedikit perusahaan yang tutup, setidaknya terdapat 60 perusahaan tekstil yang tutup sepanjang 2024 dan mengorbankan 250.000 pekerja yang terkena PHK.
"Yang saat ini masih jalan hanya yang punya cashflow cukup tapi kondisinya pun terus melemah," terangnya.
Baca Juga
Redma menerangkan pihaknya hanya meminta dukungan dari pemerintah berupa pembenahan importasi yaitu pengendalian impor dan pemberantasan praktik impor ilegal.
"Karena kalau dukungan berupa insentif sepertinya keuangan pemerintah pun masih ketat," terangnya.
Dia menuturkan, pemerintah dalam 2 tahun terakhir sengaja membiarkan sektor TPT berada dalam gempuran produk impor.
“Kalangan pertekstilan nasional meminta pertanggung jawaban pemerintah atas terjadinya PHK dan penutupan 60 perusahaan TPT, termasuk yang terakhir Sritex,” tegas Redma dalam keterangannya, Minggu (9/3/2025).
Dia menilai pemerintah paham betul bahwa maraknya barang impor murah yang masuk, baik secara legal maupun ilegal, merupakan masalah utama sektor TPT di Indonesia.
Solusinya pun jelas, yakni mengendalikan impor legal dan memberantas praktik importasi ilegal. Dalam hal ini, kata Redma, pihaknya mendesak pemerintah untuk menegakkan hukum dan memperbaiki kinerja Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC).
Sayangnya, Redma melihat pemerintah setengah hati dalam mengendalikan produk impor dalam negeri. Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) No.36/2023 tentang Kebijakan dan Pengaturan Impor yang baru berlaku tiga bulan sudah direlaksasi dengan Permendag No.8/2024.