Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Pepesan Kosong Rencana Induk Pembangunan Industri Nasional, Target Jauh dari Angan

Indikator pembangunan industri nasional yang tertuang dalam RIPIN 2015-2035 kian jauh untuk dicapai setelah PHK massal terjadi di Sritex
Buruh dan karyawan mendengarkan pidato dari direksi perusahaan di Pabrik Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex) di Sukoharjo, Jawa Tengah, Jumat (28/2/2025). ANTARA FOTO/Mohammad Ayudha/foc.
Buruh dan karyawan mendengarkan pidato dari direksi perusahaan di Pabrik Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex) di Sukoharjo, Jawa Tengah, Jumat (28/2/2025). ANTARA FOTO/Mohammad Ayudha/foc.

Bisnis.com, JAKARTA - Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) massal di di PT Sri Rejeki Isman Tbk. alias Sritex yang pailit dan sejumlah pabrik lain yang berencana hengkang dari Tanah Air menjadi rapor merah bagi Pemerintahan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka.

Sebanyak lebih dari 8.000 pekerja Sritex telah dirumahkan dan ribuan buruh pabrik lainnya terancam kehilangan mata pencaharian. Keadaan ini menjadi ironi di tengah upaya mewujudkan industri nasional yang termaktub dalam Rencana Induk Pembangunan Industri Nasional (RIPIN) Tahun 2015-2035. 

Pada era pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi), RIPIN 2015-2035 diundangkan dan ditandatangani pada 6 Maret 2015 lewat Peraturan Pemerintah No 14.2015 tentang RIPIN 2015-2035. 

Sedawarsa berlalu, jika dilihat dari sasaran indikator pembangunan industri pada tahun ini, nyaris sebagian besar gagal terwujud sesuai target. Indikator pembangunan industri lainnya seperti pertumbuhan sektor industri nonmigas jauh di bawah target RIPIN 2015. 

Adapun, kala itu pemerintah membidik kinerja industri tumbuh 9,1% pada 2025. Sementara itu, pada tahun lalu Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat industri hanya tumbuh di angka 4,75% [year-on-year]. 

Di sisi lain, kontribusi industri nonmigas terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) juga ditargetkan tumbuh ke angka 27,4% yoy. Namun, faktanya hingga saat ini baru mencapai 18,98% yoy. Capaian tersebut bahkan jauh lebih rendah dari dua dasawarsa lampau di level 28%. 

Lebih lanjut, jumlah tenaga kerja di sektor industri dalam RIPIN 2015 dicanangkan dapat mencapai 21,7 juta pada tahun ini. Namun, rata-rata kontribusi jumlah tenaga kerja manufaktur masih dikisaran 20 juta - 21 juta orang dalam 5 tahun terakhir. 

Bahkan, pertumbuhan proporsi tenaga kerja sektor industri manufaktur stagnan cenderung susut. Pada 2019, industri pengolahan nonmigas menyumbang 14,91% terhadap total angkatan kerja di Indonesia yaitu mencapai 136 juta orang per Februari 2019.  

Sementara, kontribusinya mengalami penurunan hingga ke titik stagnan dalam 2 tahun terakhir 2023-2024 di angka 13,83% dari total angkatan kerja di kisaran 147 juta - 152 juta orang.

Investor Bisa Kabur

PHK massal buruh Sritex dan ancaman serupa yang terjadi di beberapa pabrik lain bisa menjadi preseden buruk bagi Indonesia untuk menarik investor baru dan bahkan mempertahankan yang sudah ada.

Kondisi industri nasional bak mengalami 'kiamat sugra'. Usai Sritex pailit, beberapa pabrik dikabarkan berencana hengkang dari Indonesia, terbaru yakni pabrik Sanken Indonesia, Yamaha Musical Product Asia, dan Asians Product.

Guru Besar Universitas Paramadina Ahmad Badawi Saluy mengatakan fenomena tersebut dilihatnya sebagai bentuk ketidaknyamanan investor akan kondisi industri dalam negeri. 

Dia pun melihat sejumlah industri asing yang sebelumnya memproduksi barang industri di Indonesia kabur ke negara tetangga, seperti Vietnam, Thailand, hingga India.

“Kalau ditanya ini pertanda bahwa negara kita tidak baik-baik saja? Oh iya, kalau Indonesia baik-baik saja tidak mungkin mereka hengkang, kalau mereka nyaman mendapatkan keuntungan tidak mungkin mereka lari," kata Badawi, beberapa waktu lalu. 

Dia tak memungkiri bahwa hengkangnya sejumlah industri keluar Indonesia tak lepas dari kondisi dan situasi iklim usaha dalam negeri. Menurut dia, investor melihat Indonesia prospektif. Namun, terdapat ketidaknyamanan dalam berusaha. 

Terbaru, Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Provinsi Jawa Barat melaporkan bahwa ada lima pabrik di wilayahnya menghentikan produksi dan merumahkan ribuan karyawan.

Kelima perusahaan yang tutup yaitu, PT Sanken Indonesia, PT Yamaha Music Product Asia, dan PT Tokai Kagu yang berlokasi di Kabupaten Bekasi. Kemudian, PT Danbi Internasional di Garut dan PT Bapintri di Kota Cimahi.

Tutupnya kelima pabrik ini membuat setidaknya 3.200 buruh dirumahkan atau terkena PHK. Perinciannya PT Sanken Indonesia 459 orang, PT Yamaha Music Product Asia 200 orang, PT Tokai Kagu 195 orang. Sementara itu, PT Danbi internasional Garut sebanyak 2.079 orang dan PT Bapintri 267 orang.

Pemerintah Harus Berbenah

Pemerintahan Prabowo-Gibran harus bertindak cepat untuk mengubah preseden buruk yang muncul usai PHK massal yang terjadi di Sritex. Satu-satunya adalah dengan memberikan solusi untuk membuat dapur para ribuan pekerja tersebut tetap ngebul.

Salah satu cara yang ditempuh pemerintah adalah mendukung calon investor yang berminat menyewa aset milik Sritex. Tim kurator yang menangani proses kepailitan Sritex rencananya bakal memutuskan investor yang bakal menyewa aset Sritex Group dalam kurun 2 pekan ke depan.

Perwakilan tim kurator Nurma Sadikin menyampaikan, penyewaan alat berat menjadi opsi untuk meningkatkan harta pailit dan menjaga agar nilai aset tidak mengalami penurunan.

“Dalam 2 minggu ini kurator akan memutuskan siapa investor yang akan menyewa terhadap aset Sritex,” kata Nurma dalam konferensi pers di Istana Negara, Jakarta, Senin (3/3/2025).

Opsi lain yang ditawarkan kepada eks pekerja Sritex adalah pekerjaan baru. Janji lapangan pekerjaan baru bagi korban PHK Sritex dilontarkan oleh Gubernur Jateng, Ahmad Luthfi.

Dilansir dari Antaranews, Ahmad Luthfi menyampaikan tiga janji kepada karyawan Sritex yang terkena PHK yang salah satunya terkait lapangan kerja baru.

Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jawa Tengah (Jateng), kata Ahmad, merangkul sembilan perusahaan untuk mengupayakan agar para buruh terdampak Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) oleh PT Sri Rejeki Isman (Tbk) atau Sritex di Sukoharjo, bisa bekerja kembali.

"Ada [perusahaan] garmen, sepatu, dan lainnya. Nanti HRD-nya akan kami rapatkan dengan dinas kita, agar mereka bisa ditampung. Kemarin info awal mereka menyanggupi kalau akan menerima bekerja bila usianya tidak lebih dari 45 tahun," katanya.

Sementara itu, janji lainnya adalah peluang eks pekerja Sritex berwirausaha.

Upaya lainnya adalah membuka lapangan pekerjaan baru yakni menjadi Pendamping Proses Produk Halal (P3H) di bawah kewenangan  Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH).

Seruan agar pemerintah segera berbenah juga disampaikan oleh Asosiasi Produsen Benang dan Serat Indonesia (APsyFI). Mereka mendesak pemerintah untuk mengambil tindakan penyelamatan industri tekstil dan produk tekstil (TPT).

Ketua APSyFI Redma G. Wirawasta mengatakan, setidaknya terdapat dua pabrik TPT lainnya yang disebut dalam tekanan dan terancam tutup. Kendati demikian, pihaknya belum dapat membeberkan informasi kedua perusahaan tersebut. 

"Di bulan Februari ini kan ada dua perusahaan lagi yang tutup selain Sritex, dan ini akan terus terjadi kalau pemerintah tidak ambil tindakan," kata Redma kepada Bisnis, Rabu (5/3/2025). 

Padahal, menurut Redma, masalah utama yang tengah dihadapi industri TPT saat ini banjir produk impor murah di pasar domestik. Selama ini, APSyFI juga telah berulangkali mengusulkan untuk terus memberantas impor ilegal dan mengendalikan impor ilegal. 

Kendati demikian, hal tersebut terkendala birokrasi yang dinilai terlalu 'kotor' dan pro terhadap aktivitas importasi. Dengan kebijakan dan tata kelola yang ada saat ini, pihaknya menilai pemerintah belum mengupayakan kebijakan pro industri dalam negeri. 

"Di birokrasi kita dari mulai menteri, staf khusus, staf ahli, dirjen, direktur hingga stafnya masih banyak yang pro impor dengan indikasi kuat mereka terima benefit dari para pemain impor baik yang legal maupun yang ilegal," terangnya. 

Sebelumnya, dalam catatan Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API), barang tekstil dan sepatu yang masuk secara ilegal ke pasar domestik volumenya mencapai 2 juta potong per hari. Hal ini masih terus berlangsung sehingga tidak ada lagi peluang yang bisa dimanfaatkan pelaku usaha. 

"Momentum Ramadan dan Idulfitri pun tidak terasa, hampir tidak ada pengaruhnya. Barang-barang impor untuk Lebaran sudah di stok sejak 3 bulan yang lalu," jelas Redma. 

Sebagai informasi, tingkat utilisasi di sektor hulu industri TPT di Indonesia mengalami penurunan cukup signifikan dalam kurun 5 tahun terakhir. Di hulu, asosiasi terkait mencatat penurunan sebesar 10% sepanjang periode tersebut. 

Berdasarkan data Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filament Indonesia (APSyFI), utilisasi hulu tekstil berada di level 66% pada 2021. Tahun lalu, asosiasi mencatat tingkat utilitas turun ke angka 56%.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper