Bisnis.com, JAKARTA — Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filament Indonesia (APSyFI) tengah menghadapi perbedaan pandangan antar pelaku usaha tekstil hulu. Satu kubu menginginkan proteksi importasi bahan baku, sedangkan kubu lainnya tak ingin ada hambatan impor.
Sekjen APSyFI Farhan Aqil mengatakan pihaknya meminta proteksi secara ketat untuk mempertahankan industri tekstil lokal. Menurut dia, pelonggaran impor justru dapat menimbulkan dampak negatif yang lebih besar ke depannya.
“Intinya kita masih solid untuk benahi ekosistem tekstil ini. Kita nggak mau dipecah belah oleh asing cuma karena kepentingan bisnis,” kata Farhan kepada Bisnis, Minggu (2/3/2025).
Perpecahan diakibatkan perbedaan kepentingan terkait kebijakan impor bahan baku chip untuk produksi benang poliester dan serat sintetis. Di satu sisi, ada kelompok yang mendukung kebijakan anti-dumping untuk membatasi impor dan mendorong industri lokal berkembang.
Kendati demikian, di pihak lainnya merasa bahwa proteksi berlebihan akan menyebabkan kelangkaan bahan baku yang berujung pada lesunya sektor hilir.
“Aturan kita tidak boleh tebang pilih. Kalau memang terbukti adanya predatory pricing atau dumping, maka harus [ada] aturan yang adil agar industri di dalam negeri dapat berkompetisi secara fair,” jelasnya.
Baca Juga
Bahkan, terdapat kondisi beberapa produsen besar menghentikan produksi poliester dan beralih impor bahan baku. Dalam artian, beberapa perusahaan besar yang sebelumnya beroperasi penuh dalam rantai produksi dari bahan mentah hingga produk jadi, kini memilih menghentikan lini produksi mereka dan membeli chip impor.
Adapun, kondisi ini juga dipicu ketidakpastian kabar Revisi Permendag Nomor 8 Tahun 2024 tentang Kebijakan dan Pengaturan Impor.
“Dari Kemendag ada upaya mau regulasi mengenai importasi benang filamen. Ini kita masih tunggu rekomendasi yang terbit seperti apa,” tuturnya.
Untuk itu, dia meminta Kemenperin terus mendorong implementasi kebijakan perluasan HGBT untuk sektor industri, khususnya tekstil. Aturan-aturan tersebut dapat menjadi obat sementara bagi industri tekstil dalam negeri.
Memicu Dilema
Kepala Center of Industry, Trade, and Investment, Institute For Development of Economics and Finance (INDEF) Andry Satrio mengatakan fenomena ini tentu menimbulkan dilema bagi industri karena jika impor dibiarkan tanpa proteksi, maka produsen lokal akan semakin terpinggirkan.
Namun, jika impor dibatasi, akan terjadi kekurangan bahan baku di dalam negeri akibat banyaknya pabrik yang berhenti produksi.
"Industri tidak hanya sulit untuk menjual produknya di pasar domestik, tetapi yang terjadi juga pada akhirnya perang di antara sesama para pelaku domestik. Ini terjadi karena kebijakan importasi kita, kebijakan importasi yang dibiarkan begitu saja,” tuturnya.
Menurut dia, kebijakan impor yang tidak berpihak pada industri tekstil dalam negeri ini merupakan konsekuensi dari regulasi yang tidak mengalami perubahan signifikan dalam beberapa tahun terakhir.
Andry menilai pemerintah perlu menyeimbangkan aturan sehingga tak hanya mendukung salah satu sektor dalam industri tekstil, baik itu hulu maupun hilir.
"Untuk mencapai hilirisasi diperlukan sektor hulu yang kuat. Kalau misalnya sektor hulunya tidak kuat, hilirisasinya malah ditopang oleh produk-produk impor dan itu menurut saya bukan mencerminkan ketahanan industri yang diharapkan oleh Presiden Prabowo Subianto,” jelasnya.
Lebih lanjut, Andry juga menyoroti ketidaksepahaman antara Kementerian Perindustrian (Kemenperin) dan Kementerian Perdagangan (Kemendag) dalam merumuskan kebijakan yang mendukung industri tekstil nasional.
Perbedaan fokus di antara kedua kementerian tersebut justru menciptakan persaingan internal yang menghambat pertumbuhan industri. Hal ini tercermin dari regulasi terkait larangan terbatas ini dinantikan oleh pelaku industri agar mendapatkan perlindungan dan kepastian keberlangsungan usaha.
“Berkali-kali rapat dilakukan antara Kemendag dan Kemenperin, tapi sampai sekarang belum ada aturan baru yang jelas. Padahal para pelaku industri sudah lama menunggu kepastian,” ucapnya.