Bisnis.com, JAKARTA — Tingkat utilisasi di sektor hulu industri tekstil dan produk tekstil (TPT) di Indonesia mengalami penurunan cukup signifikan dalam kurun 5 tahun terakhir. Di hulu, asosiasi terkait mencatat penurunan sebesar 10% sepanjang periode tersebut.
Berdasarkan data Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filament Indonesia (APSyFI), utilisasi hulu tekstil berada di level 66% pada 2021. Tahun lalu, asosiasi mencatat tingkat utilitas turun ke angka 56%.
Adapun, penurunan pada tahun lalu dialami di berbagai lini. Sebagai contoh, utilisasi serat turun dari 78% menjadi 65% sepanjang 2021 – 2024 dengan kapasitas produksi untuk serat 1,7 juta ton per tahun, dan produksi sekitar 1,1 juta ton per tahun.
Untuk benang, jelasnya, utilisasi filamen hanya sekitar 35% - 40% dengan kapasitas produksi sebesar 700.000 ton per tahun. Lebih rendah dibandingkan dengan 2021 yang mencapai 60%.
Ketua Umum APSyFI Redma Wirawasta menjelaskan penurunan terjadi karena sejumlah faktor. Pertama, faktor permintaan dari hilir. Menurut keterangannya, serangan barang impor ilegal di sisi hilir menyebabkan permintaan ke hulu ikut turun secara signifikan.
Kedua, belum diterapkannya kebijakan antidumping untuk filamen sehingga barang dari China yang didukung oleh kebijakan dumping bisa masuk ke Tanah Air. “Di hulu tekstil RI, kebijakan antidumping baru diterapkan untuk serat,” kata Redma kepada Bisnis.
Baca Juga
Ketiga, persaingan ketat dengan kompetitor besar seperti China, Taiwan, Thailand, hingga India di pasar ekspor. Dalam konteks ini, ujarnya, RI kesulitan bersaing dengan negara-negara tersebut karena harga gas bumi tertentu (HGBT).
Dalam 5 tahun terakhir, sambungnya, pelaku industri mendapatkan fasilitas HGBT dengan harga US$6 – US$6,5 per (millions of british thermal units) MMBTU. Namun, kata dia, pada praktiknya pelaku industri dalam negeri mendapatkan harga di angka US$9 – US$10 per MMBTU.
Saat ini, Redma mengaku HGBT dalam negeri sudah menyentuh US$12,7 per MMBTU atas pertimbangan kenaikan harga gas. Harga tersebut, jelas dia, berlaku untuk 60% dari total kontrak. Sementara 40% lainnya dikenakan harga US$16,9 per MMBTU.
“Setelah di-mixing kami mendapatkan harga US$15 per MMBTU. Sementara China hanya dikenakan US$4 per MMBTU. Harga tersebut juga lebih dari 2 kali lipat lebih tinggi dari India senilai US$6 per MMBTU. Jadi, itu yang membuat industri dalam negeri kalah saing. Padahal, untuk serat dan benang filamen porsi dari biaya gas sebesar 17% dari harga jual produk,” ujarnya.
Pasokan
Dari sisi pasokan, Redma memastikan hulu tekstil RI dalam kondisi aman. Untuk polyester, jelasnya, produksi dilakukan secara mandiri dengan kapasitas mencapai 800.000 ton per tahun. Di atas angka keperluan di dalam negeri yang berkisar 500.000 – 600.000 ton per tahun.
“Pasokan polyester dari dalam negeri kondisinya sangat mencukupi. Dengan demikian, kalau bicara B2B dengan perusahaan asing, pemain hulu tidak memerlukan tambahan dari luar negeri,” kata dia.
Namun, sambungnya, pemain tekstil hulu tengah memerlukan pasokan mono etilen glikol (MEG) dari pelaku industri petrokimia. Sejauh ini, bahan tersebut masih didatangkan dari luar negeri alias impor.
Indonesia dikatakan hanya mampu memproduksi MEG sekitar 100.000 ton per tahun. Sementara itu, keperluan sangat besar yaitu mencapai 700.000 ton pertahun. “Ini menjadi peluang investasi mengingat keperluan MEG di Tanah Air cukup besar,” ucapnya.
Selain itu, Redma berharap pemerintah dapat mengakomodasi beberapa hal yang menjadi kebutuhan industri. Di antaranya, PPN 0% dari hulu hingga hilir serta tax rebate sebesar 13% dari harga jual.
“Untuk tax rebate, besaran 13% tersebut berdasarkan pada pertimbangan tax rebate yang diberikan pemerintah China terhadap industri TPT di sana yang secara masif memasok produk mereka ke Indonesia,” tuturnya.