Bisnis.com, JAKARTA - Ekonom memproyeksikan badai pemutusan hubungan kerja (PHK) tahun ini tidak hanya terjadi di sektor padat karya seperti manufaktur saja, melainkan juga mengancam sektor akomodasi hingga digital.
Merujuk pada data Kementerian Ketenagakerjaan, kasus PHK di Indonesia tercatat sebanyak 77.965 pekerja sepanjang 2024 atau meningkat 20,2% dibandingkan tahun sebelumnya yang mencapai 64.855 pekerja.
Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Mohammad Faisal mengatakan, industri manufaktur yang selama ini banyak menyerap tenaga kerja masih tertekan kondisi pelemahan daya beli dan minimnya kebijakan pro industri.
"Secara umum tingkat PHK-nya masih relatif tinggi pada tahun ini. Menurut saya, karena kalau kita lihat apa yang menyebabkan PHK di tahun-tahun sebelumnya termasuk di tahun lalu itu memang banyak faktor dari kekuatan demand domestik," kata Faisal kepada Bisnis, Senin (24/2/2025).
Dia menuturkan bahwa berbagai macam kebijakan yang ada saat ini tak mengatasi keterpurukan sektor padat karya, seperti tekstil dan produk tekstil (TPT) yang belakangan dihantam penutupan pabrik, pailit, hingga PHK karyawan.
Data dari Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filament (APSyFI) menunjukkan sebanyak 60 perusahaan tekstil terpaksa tutup dalam 2 tahun terakhir yang memicu PHK 250.000 karyawan.
Baca Juga
Menurut Faisal, hal tersebut juga menjadi bukti kebijakan yang masih belum sesuai dengan kebutuhan industri. Dia melihat saat ini pelaku usaha lokal diterpa persaingan tidak sehat dengan produk impor yang murah dan impor ilegal.
Terlebih, kondisi perang dagang dan kebijakan global yang dapat memicu keterbatasan akses pasar ekspor produk lokal. Faisal mencontohkan kebijakan tarif impor Presiden AS Donald Trump yang akan mengetatkan pasar ekspor.
"Ini justru lebih ketat untuk masuk ke pasar ekspor, walaupun yang disasar adalah negara-negara tertentu di luar Indonesia yang menjadi penyumbang utama defisit Amerika yaitu China, Meksiko, Kanada, Vietnam," ujarnya.
Di sisi lain, dia juga menyebutkan faktor peningkatan PHK tahun ini, khususnya sektor padat karya lantaran masih dalam posisi keterbatasan ruang gerak, profitabilitas rendah, hingga pengetatan kebijakan.
"Kemudian faktor kebijakan yang lain cenderung banyak terjadi pengetatan terutama anggaran, dorongan fiskal sehingga dengan terbatasnya anggaran kemungkinan besar belanja insentif untuk sektor-sektor riil itu terbatas," ujarnya
Tak hanya manufaktur, kebijakan efisiensi anggaran yang dilakukan pemerintah saat ini disebut akan berdampak pada kinerja sektor akomodasi hingga restoran. Alhasil, peningkatan PHK akan meluas cakupan sektornya.
Dalam hal ini, efisiensi dapat berdampak pada anggaran perjalanan sehingga sumber pemasokan di sektor akomodasi hingga restoran di daerah dapat tertekan. Faisal juga menyoroti sektor digital yang akan ikut terdampak.
"Kalau kita melihat pengetatan dari sisi kewajiban peningkatan pajak dan cukai itu masih berpotensi masih terjadi pada saat sekarang, efisiensi anggaran, pengetatan belanja anggaran itu akan berdampak pada sektor swasta," tuturnya.
Lebih lanjut, Faisal menilai pemerintah harus segera mengatasi kondisi penurunan permintaan, utamanya dari segmen kelas menengah yang selama ini menjadi sumber pemasukan yang masih kuat bagi pelaku usaha.
"Permintaan kuat kelas menengah ini menjadi sumber paling tidak bagi pelaku usaha di beragai sektor untuk bisa tumbuh, menurut saya ini tidak melulu sektor padat karya saja, tapi sektor lain yang selama ini relatif lebih sehat," pungkasnya.