Bisnis.com, JAKARTA - Penguatan ekonomi domestik dan pembukaan pasar ekspor baru menjadi tantangan Indonesia saat ini. Pasalnya, setelah rekor surplus neraca perdagangan selama 57 bulan beruntun, hambatan tarif di Amerika Serikat dan melemahnya ekonomi China menjadi tantangan bagi produktifitas ekonomi Tanah Air.
Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan pada Januari 2025 neraca perdagangan Indonesia surplus US$3,45 miliar. Surplus neraca dagang Indonesia pada Januari 2025 tersebut terbentuk dari realisasi ekspor yang senilai US$21,45 miliar, sementara importasi barang senilai US$18 miliar.
Meski demikian, BPS merinci surplus ini sebagian besar terbentuk dari transaksi dagang dengan Amerika Serikat yang menghasilkan keuntungan US$1,58 miliar.
Plt. Kepala BPS Amalia Adininggar Widyasanti menyampaikan menjelaskan bahwa surplus Indonesia dengan AS utamanya berasal dari komoditas Mesin dan Perlengkapan Elektrik serta Bagiannya (HS 85) senilai US$286,2 juta.
Kemudian, diikuti oleh komoditas Pakaian dan Aksesorisnya Rajutan (HS 61) dengan surplus senilai US$218,1 juta, sementara surplus dari perdagangan Alas Kaki (HS 64) mencapai US$200 juta.
Selain AS, perdagangan Indonesia dengan India juga mencatatkan surplus senilai US$0,77 miliar. Komoditas penyumbang surplus terbesar berasal dari Bahan Bakar Mineral (HS 27) senilai US$479,5 juta, Bahan Kimia Anorganik (HS 28) senilai US$98,5 juta, serta Lemak dan Minyak Hewani/Nabati (HS 15) senilai US$76,8 juta.
Baca Juga
Negara lainnya yang menjadi penyumbang utama surplus adalah Filipina dengan nilai US$0,73 miliar.
Surplus terbesar berasal dari Kendaraan dan Bagiannya (HS 87) senilai US$214,1 juta, Bahan Bakar Mineral (HS 27) senilai US$176,9 juta, serta Lemak dan Minyak Hewani/Nabati (HS 15) senilai US$75,3 juta.
Amalia menjelaskan, keuntungan perdagangan ini kemudian tergerus dari transaksi dengan China, Australia, hingga Ekuador.
Dia menjelaskan defisit perdagangan Indonesia dengan China mencapai US$1,77 miliar yang disumbang oleh Mesin dan Peralatan Mekanis serta Bagiannya (HS 84) senilai US$1,42 miliar, Mesin dan Perlengkapan Elektrik serta Bagiannya (HS 85) senilai US$1,19 miliar, dan komoditas Plastik dan Barang dari Plastik (HS 39) senilai US$320,1 juta.
Sedangkan defisit perdagangan dengan Australia senilai US$185,2 juta yang berasal dari Serealia (HS 10) senilai US$80 juta, Logam Mulia dan Perhiasan/Permata (HS 71) senilai US$67,7 juta, serta Bahan Bakar Mineral (HS 27) sejumlah US$65,7 juta.
Terakhir, perdagangan Indonesia tercatat mengalami defisit dengan Ekuador senilai US$133,6 juta akibat impor yang cukup besar terhadap komoditas Kakao dan Olahannya (HS 18), Tembakau dan Rokok (HS 24), serta Bijih Logam, Terak, dan Abu (HS 26).
"Pada saat yang sama, neraca perdagangan komoditas migas [Indonesia secara keseluruhan] tercatat defisit sebesar US$1,43 miliar. Penyumbang defisit adalah minyak mentah dan hasil minyak," ujarnya dalam konferensi pers, Senin (17/2/2025).
Catatan Kementerian Perdagangan
Surplus neraca perdagangan ini masih belum membuat Indonesia nyaman. Pasalnya, menurut Kepala Badan Kebijakan Perdagangan (BKPerdag) Kementerian Perdagangan Rusmin Amin mengatakan ketegangan antara AS dan China dapat menyebabkan fragmentasi perdagangan global yang mungkin tidak selalu menguntungkan bagi Indonesia.
“Untuk itu, Indonesia tetap harus cermat dalam melihat peluang pasar agar tidak dijadikan pengalihan pasar dari kedua negara tersebut.”
Kendati demikian, dia optimistis peningkatan ekspor sepanjang Januari 2025 bisa mendukung pencapaian target ekspor sepanjang tahun ini sebesar US$294,45 miliar.
Ketua Umum Apindo Shinta W Kamdani mengatakan peluang Indonesia untuk memanfaatkan konflik dagang AS-China guna mendongkrak kinerja ekspor nasional sangat tergantung pada pengembangan industrialisasi berbasis ekspor.
Tanpa industrialisasi, katanya, Indonesia justru akan semakin rentan terhadap dumping maupun banjir ekspor produk manufaktur asal China yang tidak bisa diserap oleh pasar AS.
Head of Research Ciptadana Sekuritas Asia Arief Budiman menilai ketidakpastian ekonomi global menimbulkan tantangan bagi kinerja ekspor nasional pada 2025 meskipun Indonesia mencetak surplus selama 57 bulan.