Bisnis.com, JAKARTA — Ancaman Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump untuk mengenakan tarif impor dan mengklaim wilayah dari mitra keamanan utama AS telah memberikan peluang bagi Xi Jinping untuk meningkatkan reputasi global China.
Melansir Bloomberg pada Jumat (14/2/2025) Xi memulai upaya tersebut pekan lalu, dengan bertemu langsung dengan ketua parlemen Korea Selatan untuk pertama kalinya dalam 11 tahun dan memuji peningkatan hubungan pariwisata.
Pembicaraan dengan sekutu utama AS itu dilakukan setelah serangkaian diplomasi dengan para pemimpin dari Pakistan, Thailand, dan Brunei.
Diplomat terkemuka China, Wang Yi, pada Kamis (13/2/2025) bergerak ke London, Inggris di mana hubungan kedua negara mulai mencair seiring dengan peningkatan perdagangan yang sedang berlangsung. Wang Yi juga berangkat menuju ke Jerman untuk menghadiri konferensi keamanan utama Eropa.
Beberapa pemimpin Uni Eropa telah memberi isyarat bahwa blok tersebut harus mengambil pendekatan yang lebih lunak terhadap China sehubungan dengan kembalinya Trump, kata beberapa pejabat.
Namun, tidak ada tanda-tanda dalam diskusi perdagangan baru-baru ini antara negara-negara anggota bahwa UE telah mengubah strateginya untuk mengurangi risiko sektor-sektor penting dari China dan menentang tindakan yang dianggap tidak adil.
Baca Juga
Pemerintah Spanyol yakin kembalinya Trump berarti Eropa perlu mencari suara alternatif, dan tidak masuk akal untuk berpaling dari China, menurut seorang pejabat yang memahami strategi pemerintah.
Perdana Menteri Spanyol, Pedro Sanchez menonjol sebagai salah satu pemimpin yang lebih dovish di blok tersebut, setelah tahun lalu melakukan tindakan drastis dalam upayanya untuk mengurangi tarif kendaraan listrik Uni Eropa terhadap Beijing.
Bagi Xi, kekhawatiran terhadap presiden AS memberikan peluang untuk menggagalkan konvergensi yang lebih luas antara Amerika dan sekutu-sekutunya selama beberapa tahun terakhir dalam memandang China sebagai ancaman keamanan, yang berpotensi membantu mendukung perekonomian yang bergulat dengan deflasi dan kehancuran properti selama bertahun-tahun.
Menggarisbawahi meningkatnya kebutuhan Beijing akan stabilitas, China membalas tarif awal Trump sebesar 10% hanya dengan langkah-langkah yang ditargetkan yang disesuaikan untuk menghindari dampak buruk di dalam negeri.
Para diplomat China mencerminkan kehati-hatian itu. Berbeda dengan pendekatan tegas “Prajurit Serigala” yang diterapkan Beijing pada perang dagang pertama, kali ini para pejabat menahan diri dari kritik pedas yang dapat meningkatkan ketegangan.
Namun, upaya untuk mendekatkan mitra AS masih bisa menjadi rumit karena adanya isu-isu sulit seperti agresi militer Beijing di Laut Natuna Utara dan sekitar Taiwan yang mempunyai pemerintahan sendiri.
“Tindakan Trump tentu akan memudahkan Xi untuk memenangkan hati negara-negara miskin dan kurang berkembang,” menurut profesor ilmu politik National University of Singapore, Ja Ian Chong.
Untuk merayu negara-negara kaya akan membutuhkan lebih banyak upaya. Dia menuturkan, hanya karena satu aktor bermasalah tidak secara otomatis membuat aktor lain menjadi kurang bermasalah.
Sementara itu, beberapa negara juga telah menunjukkan ada tanda-tanda berusaha menyeimbangkan hubungan.
Perdana Menteri Jepang, Shigeru Ishiba, baru saja selesai melakukan perjalanan selama 24 jam ke Washington minggu lalu dan memuji hubungannya dengan Trump setelah meredakan ketegangan mengenai ketertarikan Nippon Steel Corp. pada US Steel Corp.
Sementara itu, pemimpin India, Narendra Modi, mengharapkan kesuksesan serupa di AS minggu ini, setelah memberikan serangkaian konsesi untuk menenangkan mitra dagang terbesar negaranya.
Upaya ini dilakukan setelah kedua negara Asia tersebut meredakan ketegangan dengan China menjelang pemilu AS, menyusul perselisihan selama bertahun-tahun yang membuat hubungan Beijing dingin dengan negara-negara tetangganya.
Perbedaan masih terjadi mengenai perbatasan bersama China dan India, serta serangkaian pulau yang disengketakan yang dikenal sebagai Senkaku di Jepang dan Diaoyu di China. Bagi mitra-mitra AS lainnya, dugaan dumping baja dan barang-barang lainnya oleh Beijing kemungkinan besar akan terus menimbulkan ketegangan, seiring dengan dukungan ekonomi dan diplomatik China terhadap Rusia setelah invasi mereka ke Ukraina.
Menunggu Momen
Sementara itu, Kementerian Luar Negeri China menyebut, Xi hingga kini belum berbicara dengan Trump sejak pelantikannya, meskipun Trump mengharapkan adanya pembicaraan "mungkin dalam 24 jam ke depan."
Mengingat Trump mungkin baru saja mulai memberlakukan tarif terhadap China, dan mengeluarkan komentar mengenai pengambilalihan Jalur Gaza dan perebutan Terusan Panama, Xi mungkin ingin menjaga jarak dari Trump.
"Bagi China, tidak dapat dipahami jika presiden kami melakukan panggilan telepon dengan Trump untuk menyelesaikan perselisihan sebelum mereka yakin bahwa kesepakatan baru dapat dicapai," kata mantan peneliti di Tentara Pembebasan Rakyat yang kini menjadi direktur penelitian Amerika di Grandview Institution, Zhu Junwei.
Peluang lain bagi Beijing datang dari penutupan Badan Pembangunan Internasional AS atau USAID yang dilakukan Trump secara mengejutkan. Mengisi kesenjangan yang ditinggalkan oleh sebuah organisasi yang mengeluarkan sekitar US$40 miliar untuk bantuan luar negeri akan memakan banyak biaya, dan metode belanja yang lebih disukai China di negara berkembang adalah melalui pinjaman yang didukung pemerintah.
"Xi berada di bawah tekanan untuk meningkatkan perekonomian domestik. Saya pikir rencana untuk menyalurkan miliaran dolar ke Afrika, Asia, Amerika Latin, dan tempat lain tidak akan berdampak baik secara politik dalam kondisi saat ini," ujar Eric Olander, salah satu pendiri China-Global South Project.
Trump juga menjauhkan AS dari lembaga-lembaga internasional yang telah lama mendukung kepemimpinannya dalam pemerintahan global. Sementara itu, Menteri Luar Negeri AS, Marco Rubio akan memboikot pertemuan G20 di Johannesburg bulan ini, di mana diplomat China diperkirakan akan menjadi bagian dari pembicaraan di antara negara-negara terkaya di dunia.
Menurut Rubio, era pasca-Perang Dingin di mana satu negara mendominasi tatanan dunia akan segera berakhir. Dia menyebut, kini terdapat kekuatan-kekuatan besar di berbagai belahan bumi. AS berniat untuk menegaskan kembali perannya di Belahan Barat.
Peneliti politik China di Asia Society Policy Institute’s Center for China Analysis Neil Thomas mengatakan bahwa untuk saat ini, Xi tidak menanggapi setiap serangan dari pemerintahan Trump dan puas melihat rekannya mengambil tindakan yang merusak diplomasi Amerika.
"Xi sekarang dapat memberikan alasan yang lebih kuat kepada negara-negara lain bahwa China adalah pembela ekonomi global dan tatanan internasional," tambahnya.