Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Author

Ahmad Thonthowi Djauhari

Anggota Dewan Pakar Ikatan Alumni Insitut Teknologi Sepuluh Nopember

Lihat artikel saya lainnya

Opini: Ekonomi Biru Industri Perkapalan 2025

Pengawasan yang lemah menjadikan kejahatan tersebut masih terjadi. Kapal penangkap ikan ilegal malah lebih mampu mengidentifikasi lokasi yang minim pengawasan.
Telkomsel bersama ZTE meluncurkan solusi komunikasi jarak jauh MarineMobile untuk membantu nelayan mengatasi tantangan operasional, mulai dari akses prakiraan cuaca, penentuan lokasi penangkapan ikan optimal, pelacakan GPS, dan akses real-time ke pembeli langsung ikan di pasar/dok. Telkomsel
Telkomsel bersama ZTE meluncurkan solusi komunikasi jarak jauh MarineMobile untuk membantu nelayan mengatasi tantangan operasional, mulai dari akses prakiraan cuaca, penentuan lokasi penangkapan ikan optimal, pelacakan GPS, dan akses real-time ke pembeli langsung ikan di pasar/dok. Telkomsel

Bisnis.com, JAKARTA - Kemaritiman te­­­lah menjadi amanah bagi pemerintah seperti ter­­­mak­­­tub dalam UU No. 59/2024 tentang Rencana Pembangunan Jang­­­ka Panjang Nasional (RPJPN) 2025—2045. Salah satu sasaran utama RPJPN 2025—2045 tersebut adalah pendapatan per kapita warga Indonesia yang setara dengan negara maju.

Dalam penjelasan UU itu disebutkan, pendapatan per kapita Indonesia diharapkan mencapai US$23.000—US$30.000 atau terbesar ke-5 di dunia. Dalam hal ini, dinyatakan kontribusi Produk Domestik Bruto (PDB) maritim sebesar 15%, dan PDB industri pengolahan 28%.

Guna mencapai kontribusi PDB maritim tersebut, pembangunan kemaritiman perlu lebih diseriusi, antara lain dengan menjaga laut dengan baik. Selama ini, kejahatan perikanan, masih sering muncul. Sepanjang Semester I/2024, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menangkap 112 kapal penangkap ikan ilegal (ilegal fishing), di perairan Indonesia. Nilai kerugiannya mencapai Rp3,1 triliun.

Pengawasan yang lemah menjadikan kejahatan tersebut masih terjadi. Kapal penangkap ikan ilegal malah lebih mampu mengidentifikasi lokasi yang minim pengawasan, ataupun patroli kapal pemerintah. Hal ini menunjukkan Indonesia butuh lebih banyak kapal patroli yang canggih, dan kapal ikan yang lebih modern. Dengan demikian, diharapkan pencurian bisa diadang, dan produk ikan tangkap legal meningkat.

Kebutuhan akan kapal patroli hanyalah salah satu dari kebutuhan kapal untuk keperluan peningkatan kontribusi PDB maritim. Kebutuhan lainnya antara lain untuk keperluan transportasi dan logistik, pengeboran lepas pantai, pertahanan, dan juga pariwisata.

Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) telah memasukkan industri perkapalan dalam Peta Jalan Pembangunan Ekonomi Biru 2023—2045. Ekonomi biru adalah konsep pemanfaatan sumber daya laut secara berkelanjutan untuk meningkatkan ekonomi, kesejahteraan, dan kesehatan ekosistem laut. Ekonomi biru diharapkan menjadi salah satu sumber pertumbuhan ekonomi baru, termasuk untuk mencapai target pertumbuhan 8% yang telah dicanangkan pemerintah saat ini.

Center of Economics and Law Studies (Celios), seperti dikutip Bisnis.com, memperkirakan potensi ekonomi biru sekitar US$27 miliar—US$35 miliar atau sekitar Rp432 triliun—Rp560 triliun potensi secara total, terutama perikanan. Potensi ini belum termasuk dari penyimpanan karbon, terumbu karang dan ekosistem pesisir yang nilainya sangat besar.

Adapun Bappenas memproyeksikan nilai tambah ekonomi berbasis perairan tersebut dapat mencapai US$30 triliun pada 2030. Hal itu mengingat strategisnya posisi wilayah perairan Indonesia yang menjadi penghubung lalu lintas perairan internasional melalui tiga jalur alur laut kepulauan Indonesia (ALKI). Wilayah laut Indonesia memiliki potensi ekonomi biru yang besar, di antaranya Natuna, Selat Malaka, Teluk Cendrawasih, Selat Capalulu, dan sejumlah lokasi lain.

Produksi kapal nasional, berdasarkan data dari Bappenas, mengalami tren fluktuatif. Pada 2019 hanya diproduksi 88 kapal, 2020 sebanyak 289 kapal dan 2021 turun menjadi 94 kapal. Melihat pertumbuhan kegiatan maritim di berbagai sektor, dan tentu dengan melihat proyeksi nilai tambah ekonomi biru, kebutuhan jumlah kapal berpotensi meningkat.

Ikatan Perusahaan Industri Kapal dan Sarana Lepas Pantai (Iperindo) mencatat sejumlah potensi pengadaan kapal baru pada 2025 dan tahun-tahun berikutnya. Pertama, rencana pembangunan kapal oleh kementerian negara dan BUMN, termasuk 80 kapal tanker Pertamina. Kedua, pembangunan kapal tunda dan tongkang untuk angkutan pertambangan mineral dan batu bara, yang diperkirakan mencapai 800 set per tahun.

Ketiga, pembangunan kapal ikan guna mendukung peningkatan produksi perikanan tangkap, sekitar 3.000 unit untuk beberapa tahun ke depan. Keempat, pembangunan kapal niaga dengan berbagai jenis dan ukuran, dalam rangka peremajaan kapal yang sudah berusia 25 tahun ke atas, lebih dari 1.650 unit.

Kebutuhan tersebut belum termasuk untuk industri pertahanan. TNI Angkatan Laut telah mengungkapkan, setidaknya Indonesia butuh 12 kapal selam lagi, melengkapi empat kapal selam yang sudah ada.

Guna memenuhi potensi tersebut, fasilitas perkapalan sejauh ini mencukupi jika menilik catatan Iperindo, yakni ada 36.000 dock space kapal untuk reparasi, dan 900 dock space kapal untuk pembangunan kapal baru.

Industri perkapalan memberikan multiplier effect yang besar, karena banyak menyerap tenaga kerja (padat karya), mendukung sektor usaha mikro, kecil, dan menengah, serta berdampak positif pada sektor jasa. Data Batam Shipyard & Offshore Association (BSOA) menyebutkan, satu galangan kapal minimal mempekerjakan 500 orang.

UMKM dapat memasok katering untuk para pekerja. Lalu, ketika kapal datang untuk reparasi, para kru kapal tentu memerlukan tempat tinggal. Selesai reparasi, waktu kapal akan berangkat memerlukan jasa pengisian bahan bakar minyak dan air bersih.

Batam Shipyard & Offshore Association juga mencatat, bahan baku untuk produksi kapal di Batam maupun di Indonesia 70% masih impor. Hal ini tentu menjadi peluang bagi industri lokal untuk memasok kebutuhan industri perkapalan. Jika belum mampu memasok mesin kapal, setidaknya bisa mengambil porsi untuk komponen plat baja atau besi siku (angle bars).

Dengan demikian, industri perkapalan patut mendapat dukungan agar benar-benar menjadi andalan dalam menopang ekonomi biru. Dukungan antara lain dibutuhkan dalam skema pembiayaan. Industri galangan perkapalan termasuk high risk business loan. Sehingga, lembaga pembiayaan cenderung menerapkan persyaratan yang sangat ketat, antara lain suku bunga tinggi, tenor jangka pendek, serta jaminan aset dan personal. Dukungan skema pembiayaan yang lebih kompetitif, sangat dibutuhkan industri ini, agar lebih berdaya guna.

Dari sisi insentif fiskal, industri perkapalan memerlukan keringanan PPh impor. Galangan kapal di Batam misalnya, sebenarnya sudah masuk dalam free trade zone/kawasan perdagangan bebas dan pelabuhan bebas, sehingga sudah mendapat kekhususan, pembebasan bea masuk, PPh, dan bea lainnya. Namun, industri ini masih terkena PPh atas impornya, ketika mengirimkan ke wilayah Indonesia di luar Batam. Jika industri lokal mampu memenuhi kebutuhan industri perkapalan ini, maka persoalan PPh impor ini relatif bisa diatasi.

Dari sisi pesanan atau order, Industri perkapalan masih sangat tergantung dari pemerintah baik pusat dan daerah, BUMN dan swasta. Seringkali pesanan datang tanpa kejelasan, dalam artian berapa kapal yang akan diorder dalam waktu tertentu. Ketidakjelasan ini menyulitkan industri perkapalan untuk melakukan investasi jangka panjang.

Dukungan kejelasan pesanan ini sangat dibutuhkan, sehingga impor kapal secara utuh, bisa dikurangi. Iperindo mendata, selama 2019—2021, terjadi penambahan kapal sebanyak 5.121 unit. Sedangkan galangan kapal nasional hanya memproduksi 477 unit. Artinya, ada lebih dari 4.000 kapal yang masuk Indonesia dari luar. Baiknya kebutuhan besar tersebut terungkap sejak awal dan menjadi order bagi industri perkapalan nasional.

Di sisi lain, pemerintah punya tantangan tersendiri dalam memberikan dukungan. Utamanya perihal koordinasi dan eksekusi dari hasil koordinasi tersebut. Seperti diketahui, di dalam Kabinet Merah Putih tak ada kementerian yang mengkoordinasikan kemaritiman, seperti kabinet sebelumnya.

Sejumlah kementerian yang berkaitan dengan kemaritiman berada dalam koordinasi kementerian yang berbeda. Kementerian Perindustrian sebagai ‘orang tua’ utama industri perkapalan berada di bawah Kemenko Perekonomian. Kemenko Perekonomian juga membawai Kementerian ESDM, yang banyak berkaitan dengan industri pengeboran lepas pantai atau pun pengiriman logistik BBM maupun hasil pertambangan minerba.

Kementerian Kelautan dan Perikanan dalam koordinasi Kemenko Pangan. Sedangkan Kemenko Infrastuktur membawahi Kementerian Perhubungan, yang mengurusi kepelabuhanan dan lalu lintas transportasi laut. Sedangkan untuk urusan insentif pajak, tentu menjadi wewenang Kementerian Keuangan, yang untuk kabinet saat ini berada langsung di bawah Presiden.

Koordinasi dan eksekusi hasil koordnasi yang baik, di antara kementerian-kementerian tersebut akan menjadikan dukungan kepada industri perkapalan lebih efektif, yang berujung pada membesarnya kontribusi industri ini terhadap ekonomi biru. Sehingga, harapan agar ekonomi biru menjadi pusat pertumbuhan ekonomi baru bisa makin terealisasi.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper