Bisnis.com, JAKARTA — Komisi XI DPR akan menggelar rapat dengan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati pada masa persidangan parlemen mendatang.
Sebagai informasi, saat ini DPR sedang memasuki masa reses. Para wakil rakyat itu baru akan mulai bersidang lagi pada 21 Januari 2025.
Ketua Komisi XI DPR Mukhamad Misbakhun menjelaskan pihaknya akan melakukan rapat internal usai masa reses selesai untuk menentukan agenda rapat selama masa persidangan mendatang. Dia pun memastikan akan ada agenda rapat bersama Sri Mulyani.
"Soal agenda rapat bisa salah satunya soal pelaksanaan penerapan PPN 12% pada barang dan jasa mewah," ungkap Misbhakun kepada Bisnis, Minggu (5/1/2025).
Sebelumnya, Komisi XI DPR memang banyak menyoroti perihal pemberlakuan pajak pertambahan nilai (PPN) 12% khusus barang mewah seperti instruksi Presiden Prabowo Subianto. Pemerintah sendiri resmi memberlakukan PPN 12% usai mengundangkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 131/2024.
Berdasarkan beleid itu, tarif PPN 12% tetap berlaku untuk semua barang/jasa. Hanya saja, dasar pengenaan pajak (DPP) dibedakan menjadi dua yaitu untuk barang mewah dan barang non-mewah.
Pertama, pengenaan PPN untuk barang mewah dihitung dengan cara mengalikan tarif 12% dengan DPP berupa harga jual/nilai impor sebesar 12/12. Kedua, pengenaan PPN untuk barang/jasa lain atau yang bukan tergolong mewah dihitung dengan cara mengalikan tarif 12% dengan DPP berupa nilai lain (harga jual/nilai impor/nilai pengganti) sebesar 11/12.
Dengan nilai DPP yang dibedakan menjadi dua itu, skema penghitungan PPN menjadi seperti berikut:
a. 12% x DPP = 12% x (12/12 x nilai transaksi)
b. 12% x DPP = 12% x (11/12 x nilai transaksi)
Baca Juga : Atraksi Akali 'Amanat Tunggal' PPN 12% |
---|
Jika diasumsikan nilai transaksi barang/jasanya sebesar Rp1.000.000 maka perhitungan PPN-nya menjadi seperti berikut:
a. 12% x DPP = 12% x (12/12 x Rp1.000.000) = Rp120.000
b. 12% x DPP = 12% x (11/12 x Rp1.000.000) = Rp110.000.
Perhitungan butir a berlaku untuk barang yang tergolong mewah. Sementara itu, perhitungan butir b berlaku untuk barang/jasa lain atau yang tidak tergolong mewah.
Misbhakun sendiri merasa pembedaan dua DPP dalam PMK No. 131/2024 itu sangat membingungkan dan menimbulkan kerancuan dalam penerapannya.
Padahal, menurutnya, Prabowo sudah memberikan arahan yang jelas bahwa kenaikan tarif PPN menjadi 12% hanya untuk barang mewah yang selama ini menjadi objek pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM). Sementara itu, barang/jasa lainnya tetap dikenai PPN 11%.
Dengan kata lain, Misbhakun menekankan seharusnya PPN diterapkan multitarif—bukan malah dipersulit dengan perhitungan dua DPP.
"PMK 131 membuat dasar perhitungan yang membingungkan dunia usaha dalam penerapan tarif PPN 11% yang tidak naik dengan menggunakan istilah dasar pengenaan lain," ujar Misbakhun dalam keterangannya, Jumat (3/1/2025).
Apalagi, sambungnya, persiapan dan pembuatan keputusan sangat mepet dengan pelaksanaan perubahan tarif PPN. PMK 131/2024 diundangkan pada 31 Desember 2024, sedangkan kenaikan tarif PPN dari 11% menjadi 12% berlaku pada 1 Januari 2025.
Oleh sebab itu, politisi Partai Golkar itu menilai seharusnya Direktorat Jenderal Pajak Kemenkeu membuat peraturan dengan bahasa yang lebih sederhana, tidak menimbulkan multitafsir, dan tetap menggunakan mekanisme penyusunan peraturan yang seharusnya.
Misbakhun pun menekankan tidak seharusnya Direktorat Jenderal Pajak membuat penafsiran ataupun membuat ketentuan yang berbeda dengan perintah Prabowo sehingga bisa berakibat timbulnya ketidakpercayaan masyarakat. Bahkan, dia mendorong Direktur Jenderal (Dirjen) Pajak Suryo Utomo mengundurkan diri.
"Karena apa yang dibuat soal aturan pelaksanaan teknis ini sudah tidak seirama dengan kemauan dan kehendak Bapak Presiden Prabowo karena punya tafsir subyektif soal pasal UU HPP yang sudah jelas," katanya.