Bisnis.com, JAKARTA - Dua pertemuan tingkat tinggi baru saja usai digelar pada November 2024 lalu.
Pertemuan G20 yang menjadikan Brazil pertama kalinya menjadi tuan rumah G20, lalu Asia Pacific Economic Cooperation (APEC) di Peru sebagai organisasi kerja sama antara 21 ekonomi anggota yang berada di wilayah lingkaran Samudera Pasifik.
Pertemuan tingkat tinggi tersebut memiliki posisi strategis sebagai wadah kerja sama global di tengah situasi geopolitik yang tidak menentu.
B20 misalnya, business engagement negara G20, menjadi peluang menjembatani ketegangan geopolitik antara Amerika Serikat (AS)-China dan antarnegara G7-Rusia. Sekaligus sebagai platform dialog komunitas bisnis berbagai negara, mendorong inovasi dan investasi yang bisa memperkuat ekonomi global.
Sedangkan APEC bisa menjadi jembatan mengatasi tensi geopolitik sebagai wadah yang memungkinkan negara anggota termasuk AS dan Cina bersinergi mencari solusi atas tantangan perekonomian global. Di tengah eskalasi perang dagang AS-China, APEC bisa menciptakan iklim perdagangan dan investasi antarnegara anggota di kawasan yang terlepas dari ketegangan yang dihadapi dunia.
Selain itu, kesempatan yang diemban negara berkembang seperti Brazil dan Peru menjadi ketua penyelenggara pertemuan tingkat tinggi seperti G20 hingga APEC tidak hanya berpeluang besar menjembatani eskalasi geopolitik yang tengah dihadapi dunia.
Baca Juga
Kepemimpinan negara berkembang dalam forum global bisa memastikan ruang kerja sama ekonomi global yang suportif bagi negara berkembang yang kerap menjadi ‘korban’ konflik geopolitik.
Yang menarik dari peranan peran negara berkembang dalam kepemimpinan global adalah digaungkannya isu inklusivitas ekonomi.
Sejak negara-negara berkembang berkesempatan menjadi penyelenggara forum kerja sama tingkat tinggi, mereka tidak hanya diberi kesempatan memperluas pengaruh diplomatik di kancah internasional tetapi juga senantiasa menyuarakan kepentingan dan aspirasi negara berkembang berkat posisi yang lebih strategis dalam pembentukan agenda kerja sama. Juga berperan besar dalam pengambilan keputusan atas konsensus global yang menjadi tujuan pertemuan tingkat tinggi tersebut.
Upaya ini sudah dimulai di Indonesia ketika menjadi penyelenggara pertemuan negara G20 tahun 2022. Dengan tema “Advancing Innovative, Inclusive & Collaborative Growth”, Indonesia menekankan pentingnya kerja sama global yang inovatif menuju pertumbuhan ekonomi global yang inklusif.
Pada level praktis, B20 selaku business outreach G20, saat itu mengangkat isu economic inclusivity yang terefleksikan melalui rekomendasi kebijakan yang memberi perhatian pada UMKM, just transition, serta kerja sama untuk mengatasi ketimpangan pembangunan antara negara maju-berkembang. Inklusivitas ekonomi terus disuarakan di forum G20-B20 Brazil.
Melalui G20 Employment Working Group, rekomendasi kebijakan adalah bagaimana menciptakan lapangan kerja yang berkualitas dan promosi pekerjaan yang layak, untuk memastikan inklusi sosial, dan menghilangkan kemiskinan.
Demikian pula pertemuan APEC di Peru yang tidak hanya menghasilkan Machu Picchu Declaration—penegasan komitmen untuk menciptakan kawasan Asia Pasifik melalui perdagangan internasional yang terbuka, teratur, dan adil.
KTT tersebut juga menghasilkan konsensus yang terangkum dalam Ichma Statement, yang tak lain menyoroti pentingnya ulasan baru terhadap agenda Free Trade Area of the Asia-Pacific yang menekankan komitmen integrasi ekonomi Asia-Pasifik yang lebih efektif dan responsif terhadap dinamika ekonomi melalui peningkatan pertukaran informasi, capacity building dan kerja sama teknis.
Kesepakatan global yang menjadi breakthrough dan membedakan penyelenggaraan KTT APEC di Peru adalah diangkatnya isu economic informalities sebagai refleksi inklusivitas ekonomi melalui Lima Roadmap peta jalan yang mempromosikan transisi dari ekonomi informal ke formal di kawasan Asia-Pasifik, bertujuan menciptakan pertumbuhan ekonomi yang inklusif, meningkatkan produktivitas, dan memperkuat ketahanan ekonomi dengan menjawab tantangan yang dihadapi pelaku ekonomi informal.
FUTURE OF WORK
Hasil Lima Roadmap-Peru erat kaitannya konteks pembangunan ekonomi Indonesia. Khususnya terkait situasi domestik nasional yang terancam mengalami stagnasi pertumbuhan karena jumlah aktivitas ekonomi informal lebih cepat daripada ekonomi formal pascapandemi. Menilik data Badan Pusat Statistik, proporsi pekerja di sektor informal di Indonesia mencapai 59,17% dari total penduduk yang bekerja pada Februari 2024.
Lima Roadmap selayaknya menjadi katalisator mendorong pembentukan kebijakan dan regulasi Indonesia yang mempermudah transisi pelaku ekonomi informal ke sektor formal. Juga memberi peluang kerja sama internasional dalam hal peningkatan kapasitas dan pelatihan yang membantu pekerja informal memperoleh keterampilan memadai untuk memasuki pasar formal. Peta jalan ini juga membuka peluang atas reformasi regulasi untuk mempermudah proses pendaftaran bisnis, perizinan, dan administrasi pajak.
Namun, tentunya konsensus yang dihasilkan oleh pertemuan tingkat tinggi tersebut bersifat tidak mengikat, sehingga Indonesia harus proaktif mengambil langkah yang sejalan dengan konsensus tersebut dalam melakukan mitigasi inklusivitas ekonomi, khususnya dalam konteks future of work. Apalagi produktivitas dan daya saing tenaga kerja Indonesia tergolong rendah.
Hasil survey IMD World Digital Competitiveness Ranking menempatkan Indonesia pada peringkat 37 dari total 64 negara. Bahkan angka penyerapan lulusan Balai Latihan Kerja oleh sektor industri hanya mencapai 59,9% saja. Bila kondisi lemahnya kualitas SDM ini tidak ditransformasikan untuk memiliki keterampilan dan kualitas mumpuni, bonus demografi akan menjadi beban demografi.
Indonesia sudah mencanangkan visi Indonesia Emas 2045 dengan ambisi menjadi negara dengan PDB terbesar ke-5 di dunia. Sebagai negara yang 99% unit usahanya berbentuk UMKM, transformasi ekonomi informal ke formal adalah mata rantai penting menciptakan daya ungkit percepatan untuk mencapai pertumbuhan ekonomi 8%.
Untuk mencapai target pertumbuhan ekonomi 8%, diperlukan investasi sebesar Rp13.528 triliun dalam kurun waktu 5 tahun ke depan. Indonesia perlu fokus pada pertumbuhan produktivitas dan pengembangan sektor prioritas yang mampu menjadi key driver meningkatkan kontribusi terhadap PDB, sehingga tidak hanya diperlukan transformasi ekonomi yang fokus pada optimalisasi kebijakan industri, perdagangan, investasi dan persaingan yang sehat atau level playing field. Diperlukan kebijakan yang menyokong optimalisasi produktivitas yang instrumennya perlu disempurnakan agar menjadi program industrialisasi yang menguntungkan semua skala usaha.
Berkaca pada salah satu konsensus APEC Peru terkait economic informalities, agenda inklusivitas ekonomi mutlak direalisasikan Indonesia melalui reformasi iklim usaha serta penguatan agenda industrialisasi yang bisa mengubah sektor informal menjadi formal dengan cepat. Indonesia secara simultan perlu melakukan penyederhanaan iklim usaha-investasi, penurunan beban usaha sektor formal agar lebih mudah ditanggung oleh UMKM, melakukan pemberdayaan dan penguatan UMKM sebagai backbone of the economy, sekaligus menyiapkan tenaga kerja yang siap, andal serta mumpuni dalam menghadapi tantangan masa depan pekerjaan.
Transformasi kualitas SDM adalah modal utama pembangunan ekonomi Indonesia untuk pertumbuhan ekonomi nasional inklusif. Pertumbuhan ekonomi yang lebih eksponensial tak bisa dipungkiri bergantung pada kualitas dan kesiapan SDM, karena transformasi ekonomi membutuhkan tenaga kerja dengan keterampilan dan pengetahuan relevan.
Transformasi SDM menghadapi tantangan future of work sudah menjadi inti rekomendasi Task Force Future of Work yang dibentuk saat Presidensi B20 Indonesia tahun 2022 silam. Melalui gugus tugas B20-The Future of Work and Education, Indonesia menghasilkan rekomendasi kebijakan yang berlandaskan prinsip inklusivitas.
Communique B20 untuk isu pekerjaan terefleksikan dalam rekomendasi yang mendukung ketersediaan peluang kerja yang selaras dengan sektor pekerjaan yang dibutuhkan masa depan, meningkatkan kualitas pendidikan, transisi pekerjaan yang dibutuhkan pasar tenaga kerja untuk menghilangkan kesenjangan keterampilan.
Rekomendasi serupa dilanjutkan di Presidensi B20 Brazil dalam meningkatkan kualitas pendidikan yang berkembang sesuai kebutuhan pekerjaan dan kewirausahaan masa depan. Brazil juga menekankan pentingnya reskilling-upskilling untuk mengatasi masalah kesenjangan keterampilan yang dibutuhkan oleh pekerjaan masa depan.
Berkaca pada hasil rekomendasi kebijakan di pertemuan tingkat tinggi tersebut, saatnya kita beraksi melalui hal fundamental: transformasi pendidikan. Tidak hanya berfokus mempersiapkan lulusan yang kompeten, tetapi juga pada kurikulum yang mengajarkan self-learning dan continuous learning, peningkatan kualitas tenaga pengajar yang kompeten mengajarkan pengetahuan dan keterampilan sesuai kebutuhan pasar kerja.
Perlu penguatan antara link and match dunia kerja dan perguruan tinggi, agar mahasiswa siap memasuki dunia kerja melalui pembelajaran berbasis pengalaman yang melibatkan sektor industri dalam penyusunan kurikulum. Pendidikan harus mampu mengakomodasi kebutuhan industri dengan menyelaraskan pelaksanaan pembelajaran, riset, standar kompetensi, dan kesempatan magang, terutama di sektor industri yang dapat menyerap tenaga kerja, agar sesuai dengan kebutuhan kompetensi di seluruh rantai pasokan.
Indonesia perlu berbuat dan bertindak, mengimplementasikan konsensus global tersebut dalam kebijakan nasional untuk mendukung pencapaian tujuan reformasi dan transformasi ekonomi yang dibutuhkan. Konsensus kerjasama bilateral, regional, serta plurilateral Indonesia dengan negara-negara anggota APEC dan G20 perlu ditindaklanjuti melalui aksi nyata dan kerja sama konkret untuk mempercepat transformasi strategis di dalam negeri untuk pencapaian target pembangunan nasional seperti transformasi SDM dalam menyongsong future of work. Bukan sebatas di atas kertas.