Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Ekonom Proyeksi Tren Neraca Perdagangan RI hingga Akhir 2024

Ekonom Bank Permata memberikan proyeksi neraca perdagangan Indonesia hingga akhir 2024
Aktivitas bongkar muat peti kemas di pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, Rabu (22/6/2022). Bisnis/Eusebio Chrysnamurti
Aktivitas bongkar muat peti kemas di pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, Rabu (22/6/2022). Bisnis/Eusebio Chrysnamurti

Bisnis.com, JAKARTA — Neraca perdagangan Indonesia kembali melanjutkan surplus hingga November 2024. Ini artinya, neraca perdagangan Indonesia telah mencatatkan surplus selama 55 bulan berturut-turut sejak Mei 2020.

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat neraca perdagangan Indonesia mengalami surplus US$4,42 miliar, yang utamanya berasal dari sektor nonmigas US$5,67 miliar.

Adapun, BPS mengungkap surplus neraca perdagangan pada November 2024 lebih tinggi dibandingkan dengan bulan sebelumnya dan bulan yang sama tahun lalu.

Bagaimana proyeksi neraca perdagangan RI hingga akhir 2024?

Kepala Ekonom Bank Permata Josua Pardede mengatakan bahwa surplus neraca perdagangan Indonesia pada November 2024 melebar secara signifikan.

Angkanya naik dari US42,48 miliar menjadi US$4,42 miliar, terutama didorong oleh penurunan bulanan yang lebih tajam pada impor dibandingkan dengan ekspor.

“Meski ekspor dan impor melemah selama bulan ini, kontraksi impor lebih dalam dari yang diperkirakan,” kata Josua, Senin (16/12/2024).

Josua menuturkan bahwa penurunan ini disebabkan oleh penurunan impor produk migas dan non-migas, di tengah depresiasi rupiah.

Adapun secara kumulatif, surplus perdagangan dari Januari—November 2024 mencapai US$28,86 miliar. Hal ini menandai penurunan dari US$33,60 miliar yang tercatat pada periode yang sama pada tahun lalu.

Jika menengok kinerja ekspor bulanan pada November 2024, mengalami kontraksi tipis sebesar 1,70% dibandingkan dengan bulan sebelumnya yang mengalami peningkatan. Pendorong utama kontraksi ini adalah normalisasi permintaan CPO.

Pada Oktober, kata Josua, ekspor CPO melonjak lantaran meningkatnya permintaan dari India selama perayaan hari raya. Namun, setelah perayaan-perayaan tersebut berakhir, permintaan CPO kembali stabil, menyebabkan penurunan ekspor CPO sebesar US$317,9 juta di November.

Di sisi lain, kinerja impor bulanan Indonesia pada November 2024 berbalik tajam dibandingkan bulan sebelumnya dan mengalami kontraksi di semua kategori.

Menurut Josua, penurunan ini mengisyaratkan melemahnya permintaan domestik untuk barang-barang impor.

Secara bulanan, impor migas turun 29,88% mom, sementara impor non-migas turun 6,87% mom. Sama halnya dengan impor barang modal, bahan baku, dan barang konsumsi yang turun masing-masing sebesar 10,77% mom, 11,97% mom, dan 0,84% mom.

“Untuk keseluruhan 2024, kami memproyeksikan peningkatan moderat pada CAD [Current Account Deficit/defisit neraca transaksi berjalan], meningkat dari 0,16% dari PDB pada 2023 menjadi 0,76% dari PDB,” ujarnya.

Josua menyampaikan, tren ini diperkirakan akan berlanjut hingga 2025, dengan CAD diperkirakan akan melebar menjadi 1,22% dari PDB.

Hal ini mencerminkan agenda ekonomi Presiden Prabowo untuk mempercepat pertumbuhan melalui peningkatan aktivitas investasi, yang kemungkinan akan mendorong impor barang modal yang lebih tinggi.

Josua menjelaskan, proyeksi ini mempertimbangkan sejumlah faktor penting, salah satunya normalisasi harga komoditas secara bertahap dan potensi dampak dari melemahnya permintaan global, terutama karena pertumbuhan ekonomi China yang 'lebih lambat untuk waktu yang lebih lama'.

Di sisi lain, dia menyebut upaya hilirisasi yang tengah berlangsung di Indonesia diharapkan dapat mengurangi ketergantungan pada ekspor komoditas mentah, sehingga membantu membatasi defisit sampai batas tertentu.

Selain itu, lanjut dia, potensi penurunan suku bunga kebijakan global, meski saat ini lebih terbatas, dapat mengimbangi sebagian dampak penurunan harga komoditas.

“Faktor kunci yang perlu dipantau pada 2025 adalah kemenangan Donald Trump dalam Pemilihan Presiden AS, yang akan meningkatkan risiko Perang Dagang 2.0 karena kebijakan ekonominya yang berorientasi ke dalam,” ungkapnya.

Menurutnya, hal ini dapat membatasi potensi penurunan suku bunga kebijakan global, memperburuk kondisi perdagangan dan pertumbuhan global yang sudah sulit, dan memberikan tekanan pada harga komoditas.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Rika Anggraeni
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper