Bisnis.com, JAKARTA — Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat nilai impor susu Indonesia sepanjang Januari-November 2024 mencapai US$803,4 juta atau sekitar Rp12,86 triliun (asumsi kurs Rp16.016 per dolar AS).
Nilai impor susu Indonesia pada periode tersebut turun dibandingkan sepanjang periode yang sama tahun lalu. Plt. Kepala BPS Amalia Adininggar Widyasanti mengatakan impor susu Indonesia turun tipis 6,19% secara tahunan (year-on-year/yoy).
“Impor susu Indonesia Januari-November 2024, nilainya adalah sebesar US$803,4 juta, atau turun sebesar 6,19% dibandingkan impor susu Januari—November 2023,” kata Amalia dalam Rilis Berita Resmi Statistik, Senin (16/12/2024).
Adapun, Amalia mengungkap susu bubuk (skim milk) merupakan jenis impor susu tertinggi sepanjang Januari—November 2024.
“Dengan asal negara utama impor susu Indonesia dari Selandia Baru sekitar 53,28% dari total impor susu,” ujarnya.
Adapun, negara utama impor susu yang mendominasi lainnya adalah dari Amerika Serikat 17,44% dari total impor susu. Serta, dari Australia atau sebesar 14,84% dari total impor susu.
Baca Juga
Terkait impor susu, dalam catatan Bisnis, Pengamat Peternakan dari Universitas Padjajaran Rochadi Tawaf setuju agar Kementerian Perdagangan (Kemendag) meninjau ulang tarif bea masuk 0% terhadap produk susu.
Dia menyarankan agar pemerintah menetapkan bea masuk 5–10% terhadap produk susu yang masuk ke Indonesia sebagai bentuk proteksi terhadap peternak susu perah lokal. Apalagi, produktivitas susu sapi perah dalam negeri masih rendah atau hanya 10-15 liter per ekor per hari.
Rochadi menjelaskan adanya bea masuk hingga 10% ini agar peternak sapi perah lokal mampu bersaing dengan produk susu luar negeri. Terlebih, pemerintah harus melindungi peternak rakyat.
Menurut Rochadi, pemerintah perlu menghidupkan kembali Peraturan Presiden (Perpres) tentang Persusuan Nasional yang salah satunya memuat bea masuk atau proteksi.
Belum lama ini, Menteri Perdagangan (Mendag) Budi Santoso juga memberi sinyal untuk meninjau ulang kembali pengenaan bea masuk impor susu 0%. Dia menyampaikan bahwa setiap perjanjian harus dilakukan negosiasi, termasuk dengan perjanjian eksisting.
Namun, Budi menyampaikan evaluasi bea masuk impor susu 0% belum dilakukan dalam waktu dekat.
“Belum, karena kan itu kesepakatan itu pasti dulu sudah dipikirkan matang-matang. Kesepakatan kan kita tidak sendiri, tapi melibatkan kementerian/lembaga semuanya. Kenapa ini 0% dan bukan kami yang memutuskan, jadi semua ikut terlibat,” tuturnya.
Meski begitu, jika setiap kementerian/lembaga sepakat untuk melakukan evaluasi, Budi mengaku akan mengevaluasi perjanjian tersebut.
“Semua perjanjian yang dianggap tidak menguntungkan bisa saja dikaji ulang. Tapi kita lihat urgensinya,” pungkasnya.