Bisnis.com, JAKARTA — Pemerintah berencana menaikkan tarif pajak pertambahan nilai atau PPN dari 11% menjadi 12% pada 1 Januari 2025. Di tengah kondisi pelemahanan daya beli masyarakat, banyak pihak yang mendorong pemerintah mencari alternatif kebijakan lain.
Belakangan para ekonom, pengusaha, hingga masyarakat awam ramai-ramai menyatakan keresahan terkait rencana kenaikan PPN pada tahun depan. Kenaikan PPN yang akan meningkat harga barang/jasa ditakutkan malah membuat daya beli masyarakat semakin menurun.
Konsumsi rumah tangga sendiri merupakan komponen utama penopang pertumbuhan ekonomi Indonesia. Berdasarkan data terbaru Badan Pusat Statistik (BPS), konsumsi rumah tangga mendistribusikan 53,08% dari produk domestik bruto (PDB) pada Kuartal III/2024.
Artinya, jika daya beli masyarakat menurun maka kondisi perekonomian secara keseluruhan juga akan terganggu. Oleh sebab itu, banyak yang meminta pemerintah menunda wacana kenaikan tarif PPN menjadi 12%—setidaknya sampai daya beli masyarakat kembali meningkat.
Di samping itu, tidak dimungkiri bahwa pemerintahan baru Presiden Prabowo Subianto perlu menggenjot penerimaan negara untuk membiayai berbagai program-program unggulan.
Sejumlah alternatif kebijakan di luar PPN 12% pun bermunculan dari berbagai pihak. Diyakini, berbagai alternatif tersebut dapat menggenjot penerimaan negara tanpa membebani kelas menengah-bawah.
Baca Juga
Pajak Orang Super Kaya
Ekonom senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef) M. Fadhil Hasan menyarankan pemerintah memajaki kelompok masyarakat tertentu, ketimbang penerapan kenaikan tarif PPN yang berdampak ke perekonomian secara keseluruhan.
Dalam konteks saat ini, kelompok masyarakat paling cocok dipajaki tanpa berdampak luas ke perekonomian adalah orang-orang super kaya.
"Yang super rich [super kaya] itu, itu harus ditingkatkan [pajaknya] karena ada masalah keadilan juga di sini. Juga kalau misalnya kalau super rich ini ditingkatkan pajaknya, itu tidak akan memberikan dampak [negatif] ke perekonomian secara keseluruhan," katanya dalam Seminar Nasional Proyeksi Ekonomi Indonesia 2025 di Jakarta Pusat, Kamis (21/11/2024).
Sementara dalam studi bertajuk Laporan Ketimpangan Ekonomi Indonesia 2024: Pesawat Jet untuk Si Kata, Sepeda untuk Si Miskin, Center of Economic and Law Studies (Celios) sempat mengungkapkan penerimaan negara bisa meningkatkan tajam apabila pemerintah serius memajaki para orang super kaya di Indonesia.
Perhitungan Celios, jika pemerintah mengenakan pajak 2% saja terhadap akumulasi kekayaan 50 orang terkaya di Indonesia yang mencapai US$251,73 miliar atau Rp4.078 triliun maka negara akan menerima Rp81,6 triliun dalam setahun.
Selain itu, Fadhil Hasan juga menyarankan penerapan pajak anomali keuntungan komoditas (windfall profit tax). Secara sederhana, Fadhil mengibaratkan windfall profit tax sebagai pajak 'rezeki nomplok'.
Dia menjelaskan windfall profit tax sebagai pajak yang dikenakan kepada industri yang mendapat keuntungan yang berlebih tanpa mereka melakukan usaha-usaha tertentu.
Contohnya, ketika secara mendadak harga komoditas minyak bumi atau baru bara meningkatkan karena gejolak geopolitik. Otomatis, sambungnya, profit industri dalam negerinya yang terkait sektor minyak atau batu bara akan meningkat.