Bisnis.com, JAKARTA — Badan Anggaran DPR meminta pemerintah fokus menindak aktivitas impor ilegal di daerah perbatasan agar bisa memaksimalkan penerimaan perpajakan, daripada menaikkan tarif PPN dari 11% menjadi 12% pada tahun depan.
Wakil Ketua Badan Anggaran (Banggar) DPR Jazilul Fawaid menilai wilayah perbatasan Indonesia menyimpan potensi besar bagi penerimaan negara. Masalahnya, dia melihat wilayah tersebut minim pengawasan sehingga kerap kali menjadi jalur transaksi ilegal
“Kalimantan Barat memiliki perbatasan sepanjang 900 kilometer dengan hanya sembilan pintu resmi. Sementara itu, ada lebih dari 200 jalur ilegal yang digunakan untuk perdagangan barang, termasuk barang ilegal dan penghindaran pajak,” ujar Jazilul usai Kunjungan Kerja ke Kota Pontianak, Kalimantan Barat, dikutip dari situs DPR, Sabtu (30/11/2024).
Elite Partai Kebangkitan Bangsa ini menekankan barang-barang ilegal yang masuk Tanah Air tidak dikenai tarif kepabeanan dan cukai. Oleh karenanya, kebocoran penerimaan negara akibat aktivitas perdagangan ilegal di wilayah perbatasan merupakan masalah besar.
Jazilul meyakini jika jalur-jalur perdagangan ilegal di wilayah perbedaan bisa ditutup maka potensi penerimaan negara dari kepabeanan dan cukai akan meningkat signifikan.
Dia pun mendorong pemerintah meningkatkan alokasi sumber daya manusia (SDM) dan infrastruktur di daerah perbatasan. Jazilul berharap kehadiran aparat yang cukup disertai dengan dukungan teknologi bisa menutup celah jalur ilegal.
Baca Juga
"Pemerintah harus menambah personel di wilayah perbatasan, melengkapi mereka dengan teknologi pengawasan yang canggih, dan memberikan dukungan penuh kepada otoritas seperti Bea Cukai dan Ditjen Pajak,” terangnya.
Di sisi lain, dia mendesak agar pemerintah menunda rencana kenaikan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12% pada 1 Januari 2025 seperti amanat UU No. 7/2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).
Jazilul Fawaid menekankan belakangan terjadi pelemahan daya beli masyarakat terutama di kelompok kelas menengah-bawah. Dia mengingatkan bahwa sektor konsumsi merupakan penyumbang utama pendapatan pajak negara.
“Jika daya beli masyarakat melemah akibat kenaikan PPN, maka konsumsi akan turun. Dampaknya, pendapatan pajak juga tidak optimal,” ungkap Jazilul.
Oleh sebab itu, dia menekankan pentingnya kajian komprehensif sebelum kebijakan tersebut diberlakukan. Jazilul menyarankan agar kenaikan PPN dilakukan pada saat daya beli masyarakat sudah pulih dan kuat.
Di sisi lain, keberimbangan antara kebutuhan fiskal pemerintah dan kondisi ekonomi masyarakat juga tidak kalah penting. Baginya, kenaikan PPN menjadi 12% bukan sekadar persoalan fiskal melainkan juga menyangkut keberlanjutan ekonomi.
Jazilul ingin pemerintah mengambil pendekatan yang lebih matang sehingga stabilitas daya beli masyarakat tetap terjaga. Sejalan dengan itu, sambungnya, pendapatan negara tetap optimal tanpa mengganggu roda ekonomi nasional.
“Momentum yang tepat [menaikkan tarif PPN] adalah ketika pasar kembali ramai, UMKM berproduksi lancar, dan ekonomi bergerak aktif,” tutupnya.