Bisnis.com, JAKARTA - Rata-rata pertumbuhan belanja negara dalam kurun satu dekade (2014-2025) tercatat mencapai 6,83%. Dari Rp1.777,2 triliun di tahun 2014 naik menjadi Rp3.621,3 di triliun di 2025.
“Spending better kuncinya tidak hanya soal besaran belanjanya, tapi rekonstruksi di dalamnya agar belanja itu lebih tepat sasaran. Memberi manfaat yang nyata bagi masyarakat, tapi juga multiplier effect yang kuat terhadap perekonomian,” ujar Kepala Pusat Kebijakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Wahyu Utomo dalam acara Media Gathering di Anyer, Banten, Rabu (25/09/2024).
Wahyu mengatakan pertumbuhan belanja yang signifikan tersebut diharapkan dapat memberi manfaat yang besar bagi perekonomian dan bagi seluruh rakyat Indonesia dari Sabang sampai Merauke. Dukungan belanja negara yang besar lanjut Wahyu turut berkontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi dan terjaganya tingkat inflasi.
Dalam kurun 2014 hingga 2023, ekonomi Indonesia tumbuh relatif stabil di kisaran 5%, lebih tinggi dari pertumbuhan ekonomi global. Hal tersebut menurut Wahyu menjadi basis kuat stabilitas ekonomi.
Bahkan, di masa pandemi pun Indonesia mampu keluar lebih cepat dari tekanan dibandingkan negara-negara lain di dunia. Setelah terkontraksi minus 2,1% di 2020, ekonomi Indonesia berhasil pulih ke level 3,7% di 2021 dan terus menguat mencapai 5,3% di 2022.
Tingkat inflasi juga terjaga di level moderat 2,5% plus minus 1% sehingga optimal dalam mendorong daya beli masyarakat. Lebih lanjut Wahyu memaparkan bahwa APBN telah mendorong peningkatan kesejahteraan dan daya saing. Belanja pendidikan untuk SDM unggul dalam kurun 2015 hingga 2023 tercatat mencapai Rp4.006, 1 triliun yang antara lain berhasil meningkatkan jumlah sekolah dan angka partisipasi kasar perguruan tinggi.
Dalam kurun 2014 hingga 2023 tercatat jumlah sekolah pada jenjang SD bertambah dari 147.513 menjadi 148.758 sekolah; jenjang SMP dari 36.518 menjadi 42.548; dan jenjang SMA dari 24.934 menjadi 28.697 sekolah. Angka partisipasi kasar perguruan tinggi juga meningkat dari 25,76 di 2014 menjadi 31,45 di 2023.
Selanjutnya, dalam periode 2015 sampai dengan 2023, anggaran kesehatan untuk produktivitas telah diberikan sebanyak Rp1.335,5 triliun. Anggaran tersebut telah berdampak pada penurunan signifikan prevalensi stunting dari 37,2 di 2013 menjadi 21,5 di 2023. Belanja kesehatan itu juga berhasil meningkatkan jumlah Rumah Sakit Umum (RSU) dari yang tadinya hanya sejumlah 1.855 di 2014 menjadi 2.636 RSU di 2023.
Jumlah Puskesmas pun meningkat dari 9.731 di 2014 menjadi 10.416 di 2023. Sementara itu, untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, pemerintah mengeluarkan anggaran perlindungan sosial sebanyak Rp3.127,6 triliun sepanjang 2015 hingga 2023. Anggaran ini berdampak pada menurunnya angka kemiskinan menjadi single digit, dari 11,25%di 2014 menjadi 9,03% di 2024.
Penurunan tersebut juga dibarengi dengan menurunnya ketimpangan atau gini ratio, dari 0.406 di 2014 menjadi 0,379 di 2024. Angka pengangguran pun berkurang dari 5,9% di 2014 menjadi 4,82% di 2024.
Upaya peningkatan produktivitas manusia Indonesia juga dibarengi dengan peningkatan konektivitas dan fasilitas umum untuk menggenjot daya saing melalui pembangunan infrastruktur, yang selama periode 2015 hingga 2023 telah dialokasikan sebesar Rp3.167,4 triliun.
Anggaran tersebut salah satunya berhasil meningkatkan pembangunan jalan tol dari 879 km di 2015 menjadi 2.817 km di 2023. Di samping kinerja memadai belanja pemerintah, kinerja transfer ke daerah (TKD) juga tak kalah mumpuni. Dana TKD tumbuh signifikan dari Rp33,10 triliun di tahun 2000 menjadi Rp857,60 triliun di tahun 2024. Penyaluran TKD terbukti efektif menurunkan ketimpangan antardaerah dan meningkatkan kemandirian desa.
Angka ketimpangan antardaerah dari semula 0,378 di 2014 turun menjadi 0,195 di 2023. Selain itu, penyaluran dana desa berhasil meningkatkan jumlah desa mandiri dari 310 desa di tahun 2018 menjadi 17.203 desa di tahun 2024. Jumlah desa tertinggal juga tercatat menurun dari 27.860 desa di 2018 menjadi 6.100 desa di 2024.
Dampak belanja terhadap kinerja fiskal tak kalah gemilang. Kinerja APBN mencatatkan tren membaik dan pendapatan negara juga meningkat. Rasio penerimaan pascapandemi meningkat, dari 10,67% PDB di tahun 2020 naik menjadi 13,32% di 2023.
Rasio utang pascapandemi juga menurun dari 39,37% PDB di tahun 2020 menjadi 39,21% dari PDB di 2023.
Keseimbangan primer di 2023 juga mencatatkan performa prima dengan kembali berada pada posisi positif setelah minus selama 12 tahun beruntun. Defisit pun relatif semakin terkendali, di masa prapandemi rata-rata 2,2% PDB dan pada 2023 berada di level 1,61% PDB.
“Defisit yang semakin terkendali, artinya risikonya semakin terkendali. Esensi APBN yang sehat adalah produktivitasnya lebih tinggi daripada risikonya. Kalau sekiranya bisa kita kendalikan lalu produktivitas kita dorong, artinya itu sustainable, tidak hanya jangka pendek, tapi jangka menengah dan panjang,” pungkasnya.