Bisnis.com, JAKARTA — Kondisi utang Indonesia terus menjadi perhatian masyarakat. Pemerintah pun buka suara soal kondisi terkini, dari soal porsi belanja utang hingga sumber dana untuk membayar tumpukan utang negara.
Deputi III Bidang Perekonomian Kepala Staf Kepresidenan Edy Priyono menjelaskan bahwa utang Indonesia terus meningkat, sejalan dengan naiknya kapasitas ekonomi dan kebutuhan uang. Utang yang terus naik pun memantik banyak kritik, dan Edy memaklumi keresahan masyarakat itu.
Menurutnya, saat ini sekitar 20% dari total pengeluaran negara digunakan untuk membayar cicilan utang.
Nilai utang yang makin tinggi pun akan menjadi tantangan bagi pemerintahan mendatang, karena belanja yang harus dikeluarkan untuk membayar cicilan utang turut meningkat.
Edy menjelaskan bahwa anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) kerap mencatatkan keseimbangan primer yang negatif. Hal itu berakibat pada sumber dana yang diperlukan untuk membayar cicilan utang.
"Keseimbangan primer yang negatif itu artinya untuk membayar cicilan utang kita harus mengambil utang baru. Ini menjadi tantangan ya. Meskipun, kalau dari sisi positifnya ya masih bisa, utang pemerintah sekarang kan kurang dari 40% terhadap PDB, sedangkan UU Keuangan Negara itu mengizinkan sampai 60%," ujar Edy dalam Seminar Nasional Indef bertajuk Evaluasi 1 Dekade Pemerintahan Jokowi, Kamis (3/10/2024).
Baca Juga
Sejak 2012, Indonesia terus mencatatkan keseimbangan primer yang negatif. Untuk pertama kalinya pada 2023, keseimbangan primer mampu ditutup surplus Rp92,2 triliun.
Kondisinya relatif masih berlanjut, yakni terakhir pada Agustus 2024 keseimbangan primer tercatat surplus Rp161,8 triliun.
Adadun, per Agustus 2024, posisi utang pemerintah tercatat mencapai Rp8.461,93 triliun atau setara 38,49% terhadap produk domestik bruto (PDB).
Komposisinya terdiri atas surat berharga negara (SBN) Rp7.452,65 triliun dan pinjaman senilai Rp1.009,37 triliun.
"Utang ini munculnya dari mana? Dari defisit anggaran. Defisit munculnya dari mana? Karena kita mau belanja lebih besar dari pendapatan," ujar Edy yang hadir mewakili Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko.
Edy menyebut bahwa terdapat dua cara untuk memecahkan masalah utang, yakni dengan menambah penerimaan negara atau mengurangi belanjanya. Kedua cara itu memang terdengar sederhana di atas kertas, tetapi sangat rumit dalam implementasinya.
Strategi menaikkan penerimaan melalui pajak misalnya, menurut Edy, kerap mendapatkan resistensi dari masyarakat. Apalagi, saat ini terdapat dugaan tekanan daya beli masyarakat, juga fakta bahwa jumlah kelas menengah terus turun.
Upaya melakukan efisiensi atau belanja dengan optimal pun tidak semudah membalikkan telapak tangan.
"Sampai sekarang pemerintah juga masih struggle, dalam arti berjuang, untuk meningkatkan kualitas belanja. Banyak belanja-belanja kementerian/lembaga yang bisa dilakukan secara lebih efisien," ujar Edy.