Bisnis.com, JAKARTA — Sekretaris Jenderal Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara atau The Association of Southeast Asian Nations (Asean) Kao Kim Hourn mengungkap potensi dampak dari teknologi kecerdasan buatan atau artificial intelligence terhadap perekonomian di region tersebut.
Kao menyebut, teknologi yang didukung artificial intelligence atau AI menawarkan potensi manfaat yang luar biasa. Dia mengatakan, potensi tersebut mencakup bidang-bidang penting seperti perdagangan digital, e-commerce, identitas digital, keamanan siber, memungkinkan kelancaran operasional bisnis, dan efisiensi penyampaian layanan digital yang aman.
Selain itu, melalui proses otomatisasi, penyempurnaan analisis data, dan optimalisasi pengambilan keputusan, AI dapat meningkatkan produktivitas dan inovasi secara signifikan, sehingga memungkinkan bisnis untuk berkembang lebih cepat dan efisien.
Dia menuturkan, pasar AI global saat ini bernilai sekitar US$197 miliar, dengan proyeksi menunjukkan nilai tersebut akan melonjak hingga mencapai US$1,8 triliun pada 2030 mendatang. Tingkat pertumbuhan tahunan gabungan pasar AI dunia pada rentang 2023—2030 diprediksi mencapai sekitar sebesar 37,3%.
Sementara itu, pasar AI di Asean diperkirakan akan berkontribusi terhadap peningkatan PDB sebesar 10% hingga 18%, setara dengan hampir US$1 triliun pada tahun 2030.
"Hal ini menggarisbawahi potensi besar AI dalam membentuk perekonomian masa depan kita," jelas Kao dalam acara AI Opportunity Southeast Asia Forum di Sekretariat Asean, Jakarta pada Rabu (2/10/2024).
Untuk memanfaatkan potensi ini, Kao menyebut Asean telah mengidentifikasi bidang-bidang kerja sama dalam bidang teknologi baru, termasuk AI, sebagai prioritas utama dalam negosiasi Asean Digital Economy Framework Agreement (DEFA), Hal ini diharapkan dapat menjadi landasan bagi kerangka peraturan yang akan mengimbangi inovasi teknologi saat ini.
Di sisi lain, Kao juga mengingatkan beberapa risiko dan tantangan besar yang harus diatasi. Menurutnya, jika tidak dikendalikan, teknologi AI dapat memperburuk masalah seperti bias, diskriminasi, dan pelanggaran privasi.
"Secara khusus, model AI generatif telah menimbulkan kekhawatiran mengenai misinformasi, teknologi deepfake, dan risiko keamanan siber," jelasnya.
Potensi tersisihnya tenaga kerja manusia akibat proses otomatisasi pada teknologi ini juga perlu dicermati dengan serius. Kao mengatakan, risiko-risiko ini menyoroti pentingnya memiliki kerangka tata kelola yang kuat dan pedoman etika untuk memastikan pengembangan AI selaras dengan nilai-nilai dan tujuan sosial dan masyarakat.
"ASEAN berkomitmen untuk mengatasi risiko-risiko ini melalui kebijakan AI yang bertanggung jawab yang mendorong transparansi, akuntabilitas, dan inklusivitas," tambahnya.
Mengingat potensi risiko tersebut, Kao menyebut pihaknya telah merancang Asean Guide on Artificial Intelligence, Governance, and Ethics pada awal Februari 2024. Kao menuturkan, panduan ini menguraikan pendekatan Asean dalam mengatur dan memanfaatkan potensi AI, meletakkan dasar bagi peraturan AI yang koheren dan kerja sama lintas batas di seluruh kawasan.
Mengikuti pedoman tersebut, Asean telah membentuk Kelompok Kerja Tata Kelola AI, yang berfokus pada peningkatan penggunaan AI yang aman dan bertanggung jawab. Kao menyebut, kelompok ini sedang memperluas Panduan AI untuk memasukkan kerangka kerja tambahan untuk AI generatif.
"Hal ini akan mengatasi risiko unik yang ditimbulkan oleh AI generatif dan mengadaptasi prinsip-prinsip yang ada untuk memastikan desain, pengembangan, dan penerapannya yang bertanggung jawab," jelas Kao.