Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Beda Pendapat Ekonom dan BPS soal Penyebab Deflasi Terparah sejak 1999

Deflasi 5 bulan terakhir diyakini terjadi karena turunnya pendapatan dan daya beli masyarakat. Namun, BPS menilai ada faktor turunnya harga pangan di sana.
Plt. Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Amalia Adininggar Widyasani memberikan paparan saat konferensi pers BPS di Jakarta, Selasa (1/10/2024). BPS mengumumkan bahwa terjadi deflasi 0,12% secara bulanan pada September 2024, menjadikan Indonesia mengalami deflasi lima bulan berturut-turut. / Bisnis-Abdurachman
Plt. Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Amalia Adininggar Widyasani memberikan paparan saat konferensi pers BPS di Jakarta, Selasa (1/10/2024). BPS mengumumkan bahwa terjadi deflasi 0,12% secara bulanan pada September 2024, menjadikan Indonesia mengalami deflasi lima bulan berturut-turut. / Bisnis-Abdurachman

Bisnis.com, JAKARTA — Ekonom meyakini deflasi lima bulan beruntun pada Mei—September 2024 karena pelemahanan daya beli masyarakat atau tekanan di sisi permintaan. Kendati demikian, Badan Pusat Statistik (BPS) menyatakan tren deflasi belakangan terjadi karena biaya produksi pangan turun atau faktor di sisi penawaran.

Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Mohammad Faisal menjelaskan, deflasi selama berbulan-bulan hanya terjadi ketika kondisi ekonomi yang sedang tidak baik. Deflasi berbulan-bulan, sambungnya, merupakan anomali dengan angka pertumbuhan ekonomi Indonesia yang masih di atas 5%.

"Deflasi lima bulan berurut-urut itu mengkhawatirkan menurut saya, karena kalau dalam kondisi normal ini tidak terjadi untuk negara dengan tingkat pertumbuhan seperti di Indonesia yang 5%," ujar Faisal kepada Bisnis, Selasa (1/10/2024).

Dia menjelaskan, notabenenya deflasi terjadi karena lemahnya tingkat permintaan. Dalam konteks Indonesia belakangan, dia meyakini pendapatan masyarakat semakin melemah.

Menurutnya, pendapatan masyarakat saat ini lebih rendah dibandingkan pra pandemi. Selain itu, banyak orang yang belum bisa kembali bekerja usai terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) saat masa pandemi.

"Ini mempengaruhi dari tingkat spending mereka sehingga spending itu relatif melemah terutama untuk kalangan yang menengah dan bawah," jelas Faisal.

Dia pun mengingatkan, kelas menengah merupakan mesin utama pertumbuhan ekonomi terutama karena menjadi kelompok penduduk yang mengontribusikan konsumsi terbesar. Sementara itu, konsumsi rumah tangga menjadi kontribusi terbesar terhadap produk domestik bruto (PDB) Indonesia.

Oleh sebab itu, jika konsumsi kelas menengah melemah maka perekonomian juga tidak akan bergerak seperti pelemahan industri manufaktur dan sektor jasa-jasa. Dia mendorong agar pemerintah bergerak cepat untuk atasi pelemahanan daya beli tersebut.

"Ini yang perlu menjadi catatan. Artinya perlu menyikapi secara tepat kondisi ini, insentif bukan hanya dalam hal pelonggaran moneter tapi juga kebijakan insentif di fiskal dan di sektor riil," kata Faisal.

Sementara itu, ekonom Core Yusuf Rendy Manilet menyoroti angka inflasi inti sebesar 0,16% pada September 2024 secara bulanan (month to month/MtM). Dia mengungkapkan, angka tersebut mirip dengan inflasi inti ketika terjadi proses pemulihan pandemi pada 2020—2021.

Selain itu, dia menyoroti indeks keyakinan konsumen pada Agustus. Meski secara umum keyakinan konsumen mengalami peningkatan namun berdasarkan kelompok pengeluaran (Rp4,1 juta—5 juta) ataupun penghasilan (Rp3,1 juta—4 juta) cenderung rendah.

"Pertumbuhannya juga relatif kecil hanya mencapai 0,7% secara bulanan. Artinya memang kelompok kelas menengah relatif tertekan untuk melakukan konsumsi," jelas Yusuf kepada Bisnis, Selasa (1/10/2024).

Penyebab Deflasi menurut BPS

Sementara itu, Plt. Kepala BPS Amalia Adininggar Widyasanti menjelaskan bahwa faktor yang mempengaruhi deflasi belakangan karena adanya penurunan harga yang dipengaruhi oleh supply side alias sisi penawaran.

Amalia mengatakan, pengaruh terbesar yang sebabkan deflasi yaitu penurunan harga bergejolak seperti produk tanaman pangan dan hortikultura seperti cabai merah, cabai rawit, tomat, daun bawang kentang, hingga wortel.

"Juga produk peternakan telur ayam ras dan daging ayam ras yang beberapa bulan sebelumnya mengalami peningkatan sekarang kembali menurun karena Kembali stabil. Nah ini tentunya mengapa harga bisa turun karena biaya produksi turun," jelas Amalia dalam konferensi pers di Kantor BPS RI, Jakarta Pusat, Selasa (1/10/2024).

Tidak hanya itu, sambungnya, sekarang sedang masa panen cabai rawit dan merah sehingga pasokan relatif berlimpah. Akibatnya, harganya juga menurun.

Terkait kemungkinan penurunan daya beli masyarakat, Amalia menyatakan masih studi lebih mendalam. Amalia menjelaskan, BPS hanya mencatat angka inflasi/deflasi melalui Indeks Harga Konsumen (IHK).

"Penurunan daya beli itu tidak bisa hanya disimpulkan hanya dengan angka inflasi. Jadi kita perlu didalami lagi," katanya.

Sebagai informasi, Indonesia pernah mengalami beberapa kali deflasi beruntun. Pada 1999 atau setelah krisis finansial Asia, Indonesia pernah mengalami deflasi 7 bulan beruntun, yakni pada Maret 1999 hingga September 1999.

Deflasi juga menyertai usai fenomena krisis pada penghujung 2008, yakni pada Desember 2008—Januari 2009. Hal ini dipengaruhi turunnya harga minyak dunia.

Ketika pandemi Covid-19 pun deflasi beruntun pernah menimpa Indonesia. Deflasi terjadi pada Juli hingga September 2020.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper