Bisnis.com, SERANG – Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2025 yang disahkan dalam Rapat Paripurna pekan lalu (19/9/2024) menggunakan asumsi Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 11%. Asumsi ini sejatinya belum memenuhi mandat Undang-Undang (UU) No. 7/2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP). Dalam regulasi yang disahkan pada era Covid-19 itu, besaran Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 12% per 1 Januari 2025.
Kepala Pusat Kebijakan APBN Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan Wahyu Utomo mengungkapkan alasan belum digunakannya PPN 12% dalam menghitung APBN 2025. Menurutnya, pemerintah pada dasarnya menjalankan mandat UU tersebut.
Meski demikian, pemerintah juga perlu mempertimbangkan berbagai kondisi, seperti daya beli masyarakat hingga kondisi ekonomi sebelum menerapkan suatu kebijakan. Sekalipun hal tersebut telah menjadi mandat.
“Penyesuaian tarif PPN ke 12% itu sudah masuk UU HPP. Namun dalam implementasi tetap mempertimbangkan suasana masyarakat, termasuk daya beli, kondisi ekonomi, dan mungkin momentum yang tepat,” ungkapnya dalam Media Gathering APBN 2025, Rabu (25/9/2024).
Sebelumnya, Ketua Badan Anggaran (Banggar) Said Abdullah membenarkan bahwa target penerimaan pajak tahun depan belum memperhitungkan PPN 12%. DPR berpandangan pemerintah dan wakil rakyat tahun ini, belum berkehandak menaikkan PPN sebesar 1% menjadi 12% pada tahun depan.
“Rp2.490 triliun pendapatan negara [pajak + bea cukai], di antaranya itu tidak termasuk PPN 12%," ungkapnya usai Rapat Paripurna, Kamis (19/9/2024).
Baca Juga
Keputusan PPN 12% di Tangan Prabowo
Pihak Kementerian Keuangan sejauh ini satu suara terkait keputusan PPN naik atau tidak menjadi 12% pada tahun depan, karena bergantung pada pemerintahan baru. Bukan hanya Wahyu, namun juga Wakil Menteri Keuangan Thomas Djiwandono dan Menteri Sri Mulyani Indrawati.