Bisnis.com, JAKARTA — Anggota Komisi X DPR dari Fraksi PDI Perjuangan (PDIP) Andreas Hugo Pareira mengkritisi usulan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati agar dilakukan formulasi ulang anggaran pendidikan sebesar 20% dari APBN (mandatory spending).
Sebagai konteks, Sri Mulyani dalam kesempatan terpisah menjelaskan basis anggaran pendidikan sebesar 20% selama ini dihitung dari belanja negara. Namun, dia merasa sumber belanja negara penuh ketidakpastian sehingga anggaran pendidikan menjadi naik-turun dan realisasinya kerap tak sampai 100%.
Oleh sebab itu, Sri Mulyani mengusulkan mandatory spending pendidikan diatur ulang agar bersumber dari pendapatan negara—bukan belanja negara.
Kendati demikian, Andreas merasa usulan Sri Mulyani tersebut tak menyentuh akar masalah. Dia menilai, permasalahan mendasar yang sebabkan penyerapan anggaran pendidikan kerap tak sampai 100% ada di level implementasinya.
"Mandatory anggaran pendidikan 20% itu dalam implementasinya diterapkan menjadi anggaran fungsi pendidikan. Definisi anggaran fungsi pendidikan ini agak kabur sehingga dalam implementasinya juga bisa ditafsirkan sangat fleksibel," ujar Andreas kepada Bisnis, Kamis (5/9/2024).
Dia mencontoh, mandatory spending pendidikan 20% dalam APBN 2024 senilai Rp665,02 triliun. Alokasinya; 52% untuk transfer daerah dan dana desa, 12% untuk pengeluaran pembiayaan, 9% untuk Kementerian Agama, 7% untuk non kementerian/lembaga, dan 5% untuk kementerian/lembaga yang mengelola pendidikan.
Baca Juga
Sementara itu, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) 'hanya' memperoleh alokasi 15% dari Rp665,02 triliun atau total mandatory spending pendidikan 2024.
"Dari aspek kebijakan alokasi anggaran di tingkat APBN, kita bisa melihat bahwa penanggung jawab anggaran pendidikan sangat terdistribusi pada berbagai kementerian/lembaga dan berbagai tingkatan kebijakan dan tanggung jawab," jelas Andreas.
Akibatnya, kerap kali terjadi problematika penyerapan. Andreas mencontohkan, alokasi 52% untuk transfer daerah dan dana desa dari mandatory spending pendidikan merupakan tanggung jawab pemerintah daerah (Pemda).
Masalahnya, Pemda sering menerjemahkan anggaran untuk pembangunan jalan menuju sekolah sebagai anggaran pendidikan. Oleh sebab itu, daripada reformulasi sumber dana mandatory spending, Andreas mengusulkan dua kebijakan perbaikan yang harus diterapkan ke depan.
"Pertama, perlu didefinisikan secara tegas yang dimaksudkan dengan anggaran pendidikan. Kedua, kalau mau lebih efektif tanggung jawab alokasi dan pengawasan harus ada pada satu birokrasi yaitu di Kementerian Pendidikan dan Ristek," tutupnya.