Bisnis.com, JAKARTA - Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) menyebut kondisi politik dalam negeri dapat menjadi salah satu penghambat laju pemulihan manufaktur pada semester II/2024.
Secara historis, Ketua Umum Apindo Shinta W. Kamdani menyampaikan bahwa hampir setiap tahun Pemilu, pertumbuhan ekonomi Indonesia relatif melambat dibanding tahun-tahun non-Pemilu.
Apalagi, Pemilu tahun ini digelar serentak menciptakan transisi kepemimpinan di tingkat nasional maupun daerah sehingga kepastian dan prediktabilitas terhadap iklim usaha/investasi Indonesia terpengaruh dinamika politik yang ada.
“Ini tidak hanya mempengaruhi appetite dan confidence pelaku usaha/investor dalam melakukan ekspansi tapi juga appetite dan confidence konsumsi masyarakat,” kata Shinta kepada Bisnis, Jumat (23/8/2024).
Purchasing Managers Index sebagai indikator kinerja manufaktur (PMI) pada Juli 2024 tercatat sebesar 49,3, menunjukkan bahwa manufaktur Indonesia mulai berada di zona kontraksi lantaran mulai berada di bawah 50.
Untuk dapat mengembalikan laju manufaktur ke jalur ekspansi, Shinta menilai perlunya stimulasi di sisi produktif termasuk kemudahan memperoleh bahan baku/penolong impor bagi industri manufaktur yang membutuhkan, stimulasi financing usaha yang affordable, perluasan akses pembiayaan ekspor yang affordable, deregulasi, debottlenecking & fasilitasi perijinan investasi.
Baca Juga
Selain itu, perlu adanya pengamanan daya beli pasar yang dapat dilakukan dengan mengendalikan inflasi kebutuhan pokok masyarakat hingga stimulus konsumsi kelas menengah.
Adapun pengusaha sendiri telah mengupayakan segala cara untuk mempertahankan kinerja usahanya. Mulai dari peningkatan efisiensi beban usaha hingga menyeimbangkan produksi dengan demand pasar yang ada agar tidak terjadi kelebihan beban produksi atau surplus produksi yang tidak bisa diserap pasar.
Namun, Shinta mengungkapkan bahwa ada banyak hal yang berada diluar kendali para pelaku usaha. Salah satunya demand pasar domestik yang melambat karena tidak ada momentum konsumsi dan mengalami kecenderungan pelemahan daya beli.
“Ini lantaran berakhirnya sebagian subsidi dan kecenderungan peningkatan beban pengeluaran masyarakat untuk pembiayaan utang,” ujarnya.
Menurutnya, tidak ada solusi ajaib untuk memperkuat daya saing industri manufaktur nasional yang tidak membutuhkan perubahan ekosistem kebijakan di sektor manufaktur nasional secara holistik.
Dia menegaskan, semua solusi memerlukan kerja sama antara pemerintah dengan pelaku usaha terkait, untuk mereviu kembali kebijakan-kebijakan industri yang ada agar sesuai dengan tuntutan demand pasar dalam dan luar negeri.
“Tidak bisa instan, perlu waktu dan perlu berproses bersama secara berkesinambungan agar upaya peningkatan daya saing industri nasional bisa terjadi secara sustainable,” tegasnya.