Bisnis.com, JAKARTA – Bank sentral Korea Selatan, Bank of Korea (BoK), mempertahankan suku bunga acuannya di tengah upaya pemerintah mengendalikan kenaikan harga rumah yang memicu kekhawatiran utang rumah tangga.
Mengutip Bloomberg pada Kamis (22/8/2024), bank sentral mempertahankan suku bunganya pada level 3,5%, atau sesuai dengan ekspektasi 22 dari 23 ekonom yang disurvei Bloomberg. Sementara itu, satu responden lain memperkirakan pemotongan sebesar 25 basis poin.
Keputusan tersebut membuat suku bunga acuan telah dipertahankan selama 13 pertemuan beruntun, yang merupakan jangka waktu terpanjang sejak BOK mengadopsi suku bunga saat ini sebagai acuan pada tahun 2008.
Hingga saat ini, bank sentral telah berupaya untuk memoderasi ekspektasi pasar terhadap poros kebijakan yang akan datang di tengah kekhawatiran sinyal penurunan suku bunga mungkin akan memacu kenaikan harga rumah di Seoul dan wilayah sekitarnya.
Pernyataan pada hari Kamis mencerminkan kecenderungan dovish ketika pihak berwenang menghapuskan janji untuk mempertahankan suku bunga tetap stabil untuk jangka waktu yang cukup. Hal tersebut menyiratkan bahwa Bank of Korea kini semakin dekat untuk melakukan pemangkasan suku bunga.
Dalam pernyataannya, BOK mengatakan Dewan Gubernur akan secara menyeluruh mengakses trade-off di antara variabel-variabel kebijakan seperti inflasi, pertumbuhan, dan stabilitas keuangan. Bank sentral juga melihat waktu yang tepat untuk penurunan suku bunga sambil mempertahankan sikap kebijakan moneter yang restriktif.
Baca Juga
Untuk saat ini, peningkatan ekspor yang mendorong pertumbuhan ekonomi telah meyakinkan otoritas moneter mereka dapat mempertahankan kebijakan yang mereka anggap restriktif untuk jangka waktu yang lebih lama.
Pertumbuhan ekspor meningkat dalam 20 hari pertama bulan Agustus dengan semikonduktor memimpin momentum. Hal ini memberikan ruang bagi bank sentral untuk terus mengurangi potensi ancaman terhadap stabilitas keuangan.
“Tidak perlu terburu-buru melakukan pemotongan ketika fokusnya tetap pada stabilitas keuangan seputar real estat dan utang rumah tangga. Perekonomian bertahan dengan baik dengan pertumbuhan ekspor juga. Jadi, kemungkinan besar terjadi pemotongan pada bulan Oktober dan kemudian ditahan hingga akhir tahun,” kata Kim Sung-soo, Analis di Hanwha Investment & Securities Co.
Adapun, pelemahan mata uang won juga menambah alasan BOK untuk mempertahankan suku bunga saat ini. Won Korea Selatan masih menjadi salah satu mata uang dengan kinerja terlemah terhadap dolar AS tahun ini.
Bank of Korea mengatakan, penurunan suku bunga dapat menyebabkan depresiasi mata uang lebih lanjut, meningkatkan biaya hidup dan produksi. Hal tersebut karena Korea sangat bergantung pada impor pangan dan energi.
Dalam pernyataan terpisah, Bank of Korea juga mengumumkan revisi perkiraan ekonomi, dengan mengatakan pihaknya kini memperkirakan harga konsumen akan naik sebesar 2,5% tahun ini, dibandingkan perkiraan 2,6% pada bulan Mei.
Selain itu, prospek pertumbuhan tahun 2024 juga direvisi lebih rendah menjadi 2,4%. Sementara itu, perkiraan untuk tahun 2025 tidak berubah.
Adapun, pasar akan mencermati konferensi pers Gubernur Bank of Korea Rhee Chang-yong pada Kamis malam nanti. Fokus utama pasar adalah pada bagaimana dirinya menggambarkan kemungkinan arah kebijakan dan apakah ada perbedaan pendapat terhadap keputusan tersebut.
Pelaku pasar juga akan tertarik dengan pandangan anggota dewan mengenai suku bunga kebijakan dalam tiga bulan ke depan.
Sementara itu, Produk domestik bruto (PDB) Korea Selatan menyusut secara tak terduga pada kuartal terakhir setelah ekspansi yang lebih kuat dari perkiraan pada awal tahun 2024. Penurunan investasi membebani momentum perekonomian dengan meningkatnya biaya pinjaman dan prospek konsumsi yang tidak menentu sehingga melemahkan sentimen.
Meski pemerintah menyebut penurunan pertumbuhan sebagai hal yang bersifat sementara, para ekonom mencatat adanya peningkatan risiko.
Melambatnya inflasi dan risiko terhadap perekonomian domestik menambah alasan untuk mempertimbangkan pemotongan suku bunga, kata Juliana Lee, Kepala Ekonom Asia di Deutsche Bank, sebelum mengambil keputusan.
“Pengetatan kebijakan moneter yang pasif di tengah penurunan inflasi telah menyeret permintaan domestik, menciptakan perekonomian yang berbeda dengan meningkatnya risiko terhadap kelompok rentan bahkan ketika permintaan eksternal tetap kuat,” katanya.