Bisnis.com, JAKARTA — Ekonom senior sekaligus Rektor Universitas Paramadina Didik J. Rachbini menilai kebijakan ekonomi pemerintah Presiden Joko Widodo (Jokowi) lebih mengedepankan popularitas daripada efisiensi.
Didik menilai, selama sedekade terakhir APBN lebih banyak digunakan untuk kebijakan ekonomi yang populis seperti bantuan sosial ataupun sejumlah mega proyek. Akibatnya, meski banyak pembangunan fisik tetapi tidak berdampak signifikan ke penurunan jumlah kemiskinan maupun pengangguran.
Misalnya, menurutnya data BPS tingkat pengangguran selama 10 tahun hanya turun 0,88 poin persentase menjadi 4,82% per Februari 2024. Padahal, 10 tahun sebelumnya, tingkat pengangguran terbuka berkurang 4,16 poin persentase menjadi 5,7% per Februari 2014.
Alasannya, menurut Didik, pondasi perekonomian negara tidak kuat. Dia mencontohkan, pertumbuhan sektor industri hanya berkisar di angka 3%—4% sehingga pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan juga stagnan di angka 5%.
"Enggak mungkin dengan industri begitu bisa mengangkat pertumbuhan [ekonomi] seperti janjinya 7%, enggak bisa. Kalau mau 7% ya harus 10%, 12% industrinya tumbuh. Jadi mustahil bisa mencapai itu [target ekonomi 7%]," jelas Didik kepada Bisnis, Jumat (9/8/2024).
Dia meyakini banyak kebijakan ekonomi yang dikeluarkan pemerintah Jokowi hanya karena tampak megah. Padahal, secara mendasar tidak terlalu efisien.
Baca Juga
Ekonom Indef ini mencontohkan proyek kereta cepat yang pembiayaannya tidak sedikit. Dia berpendapat, biaya proyek kereta cepat akan jauh lebih berguna apabila dialihkan untuk pembangunan jalan-jalan di wilayah produksi seperti Sumatra, Kalimantan, hingga Sulawesi.
“Jadi tidak berarti banyak infrastruktur, makin mendorong pertumbuhan. Kalau tidak efisien, tidak bisa. Sama dengan mobil; kalau boros, bensin 100 liter sampainya ya pendek-pendek saja; tapi kalau yang efisien, bensinnya 50 liter sampainya panjang,” ujarnya.
Oleh sebab itu, Didik ingin pemerintahan presiden terpilih Prabowo Subianto tidak lagi meniru arah kebijakan ekonomi Jokowi. Dia ingin pemerintah Prabowo ambil kebijakan berdasarkan strategi khusus.
Didik menyarankan agar kebijakan ekonomi seperti investasi, industri, hingga perdagangan diorientasikan keluar. Menurutnya, negara-negara seperti China, Taiwan, hingga Korea Selatan bisa menjadi maju karena strategi yang berorientasi internasional.
“Jadi seluruh effort itu, seperti Olimpiade, diarahkan ke internasional supaya produknya efisien, bisa bersaing, cepat menghasilkan devisa, bisa menyerap tenaga kerja, pertumbuhan ekonomi 7% seperti tahun ‘90an,” ucapnya.
Sejalan, Didik berpendapat harus ada leading sector alias sektor utama dari strategi perekonomian negara. Menurutnya, leading sector tersebut harusnya ekspor industri.