Bisnis.com, JAKARTA - Pemerintah didesak untuk segera memberikan langkah konkret guna menyelamatkan produktivitas manufaktur yang saat ini memasuki zona merah. Salah satunya dengan pemberlakuan hambatan impor.
Berdasarkan data yang dirilis S&P Global, PMI manufaktur Indonesia mengalami penurunan dalam kurun waktu 4 bulan terakhir. Pada Maret lalu PMI berada di level ekspansi 54,2, tetapi pada Juli terkontraksi ke 49,3.
Anggota Komisi VI DPR RI Darmadi Durianto mengatakan, kondisi tersebut juga terlihat dari banyaknya industri dalam negeri yang gulung tikar karena tekanan iklim usaha yang membuat produksi turun.
"Anjloknya PMI imbas bertumbangannya industri dalam negeri karena derasnya barang-barang impor yang masuk tanpa prosedur yang jelas," ujar Darmadi dalam keterangan tertulis, dikutip Jumat (2/7/2024).
Dia menilai praktik impor ilegal masih banyak ditemukan meskipun larangan terbatas (lartas) impor diberlakukan. Tak sedikit pelaku usaha yang membayar mahal untuk mendapatkan kuota impor.
Faktor-faktor lainnya yang juga menggambarkan keterpurukan industri manufaktur yakni terlihat dari fenomena PHK massal industri tekstil karena utilitas produksi yang terus menurun.
Baca Juga
"Hampir 80%-90% pabrik tekstil, pakaian, alas kaki dan keramik yang sudah bangkrut. Selain industri-industri tersebut, masih banyak sederetan industri-industri yang sedang bergumul untuk survive," terangnya.
Menurut dia, langkah-langkah yang dilakukan pemerintah belum ada yang efektif untuk menyelamatkan industri. Terlebih, saat ini produsen manufaktur telah mengalami rontoknya rantai pasok yang dipicu gempuran barang impor murah.
Langkah pemerintah menghadirkan Satgas Impor Ilegal pun belum tampak signifikan membantu industri. Alih-alih, sidak di lapangan semakin meresahkan pedagang. Darmadi menyebut barang ilegal yang sudah bertebaran di pasar sulit dimusnahkan.
"Paling-paling jadi sasaran pemerasan oknum saja. Sekarang banyak pedagang di toko-toko dan mal tidak berani buka toko, karena tidak jelas barang yang didagangkan di toko yang di beli dari importir, apakah melalui jalur benar atau tidak?" ungkapnya.
Untuk itu, dia menyarankan pembenahan dengan memperbaiki sistem dan pengawasan yang ketat. Salah satunya dengan mengimplementasikan kebijakan bea masuk antidumping (BMAD) sebagaimana diterapkan terhadap industri keramik.
"Kebijakan BMAD untuk keramik impor Tiongkok itu cukup relevan sebagai upaya memperkuat sektor industri tanah air, hanya saja implementasi kebijakan tersebut harus segera dilakukan," tegasnya.
Meskipun, kebijakan BMAD dan langkah penegakkan hukum dalam menyelamatkan sektor industri tetap dinilai belum cukup memadai dalam menyelesaikan polemik manufaktur.
Di sisi lain, Ketua Umum Asosiasi Aneka Industri Keramik (Asaki) Edy Suyanto mengatakan, pihaknya berharap pemerintah, khususnya Kementerian Perdagangan dan Kementerian Keuangan untuk segera menerapkan kebijakan BMAD keramik impor dari China.
Hal ini lantaran utilitas industri keramik yang disebut teris tergerus hingga ke level 69% pada 2023. Hasil penyelidikan Komite Antidumping Indonesia (KADI) pun menunjukkan adanya praktik dumping dari perusahaan China yang merugikan industri.
"Para importir akan memanfaatkan celah waktu tersebut dengan melakukan importasi dalam jumlah yang sangat besar untuk menghindari pengenaan BMAD. Hal tersebut tentu nya sangst merugikan industri keramik nasional," pungkasnya.