Sebab, Kadin berpendapat bahwa kondisi fundamental ekonomi Indonesia solid dengan tingkat inflasi yang terjaga. Meskipun, bagi pelaku usaha suku bunga kredit masih tinggi dengan nilai tukar rupiah yang masih lesu.
Di sisi lain, Yukki juga menyoroti Indeks Kepercayaan Industri (IKI) masih pada zona ekspansif dengan harapan adanya perbaikan dan stabilitas usaha dalam 6 bulan mendatang.
"Kami melihat perlambatan industri manufaktur pada bulan Juli juga turut disebabkan perlambatan aktivitas serupa di China yang telah terkontraksi dalam 3 bulan terakhir," tuturnya.
Kondisi tersebut yang menyebabkan permintaan domestik China melemah sehingga turut memperlambat pertumbuhan ekonomi China. Bagi manufaktur RI, hal tersebut menjadi tantangan mengingat China merupakan mitra perdagangan utama Indonesia, khususnya bagi industri manufaktur yang berorientasi ekspor.
Di sisi lain, eskalasi geopolitik yang terjadi di Timur Tengah turut mendisrupsi arus logistik dan rantai pasok global sehingga memicu kenaikan biaya bahan baku dan ongkos logistik.
Untuk itu, Kadin kembali mendorong adanya dukungan dan insentif dari pemerintah dari sisi fiskal, kemudahan usaha dan rantai pasok untuk menggeliatkan industri manufaktur nasional agar kembali menjadi penopang perekonomian nasional.
"Secara domestik, kami melihat faktor pembiayaan bagi industri manufaktur berorientasi ekspor oleh pemerintah masih dipengaruhi level suku bunga BI yang cukup tinggi sehingga menyebabkan kredit menjadi mahal," teragnya.
Terlebih, tantangan produktivitas tenaga kerja Indonesia yang belum kompetitif, bahkan dibandingkan negara lain di Asia Tenggara, masih menjadi salah satu hambatan yang menahan laju industri pengolahan.
Kendati demikian, dunia usaha disebut tetap optimistis namun realistis melihat proses transisi kepemimpinan pada Oktober dengan sinergi antara estafet pemerintahan saat ini dan pemerintahan mendatang.