Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Zona Merah Manufaktur RI, Aturan Impor jadi Biang Kerok?

Inkonsistensi kebijakan pengaturan impor produk hilir disebut sebagai penyebab terkontraksinya kinerja industri manufaktur Indonesia.
Karyawan beraktivitas di salah satu pabrik di Jawa Barat. Bisnis/Bisnis
Karyawan beraktivitas di salah satu pabrik di Jawa Barat. Bisnis/Bisnis

Bisnis.com, JAKARTA - Aktivitas industri manufaktur nasional masuk pada zona kontraksi untuk pertama kalinya sejak 3 tahun terakhir. Inkonsistensi kebijakan pengaturan impor produk hilir disebut sebagai penyebabnya.

Kondisi industri yang terkontraksi ditunjukkan melalui Purchasing Manager's Index (PMI) manufaktur Indonesia yang merosot ke level 49,3 pada Juli 2024 atau turun 1,4 poin dari bulan sebelumnya 50,7.

Berdasarkan laporan S&P Global, PMI manufaktur Indonesia tercatat terkontraksi di bawah level 50 terakhir kali pada Agustus 2021 saat masa pandemi. Kala itu, PMI manufaktur Indonesia berada di level 43,7. Setelah itu, kinerja manufaktur terus berekspansi.

Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasmita menyebut, terkontraksinya kinerja manufaktur tersebut telah diprediksi sejak berlakunya aturan relaksasi impor yang tertuang dalam Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) No. 8/2024 pada Mei 2024 lalu.

"Kami tidak kaget dan logis saja melihat hasil survei ini, karena ini semua sudah terprediksi ketika kebijakan relaksasi impor dikeluarkan," kata Agus melalui keterangan tertulis, Kamis (1/8/2024).

Agus menerangkan bahwa kontraksi PMI manufaktur Indonesia dipengaruhi oleh penurunan secara bersamaan antara output dan pesanan baru. Terlebih, permintaan pasar yang turun sehingga penjualan semakin susut.

Untuk itu, dia pun mendorong sinergi kebijakan pemerintah untuk mendukung kinerja industri manufaktur. Ekspansi pada PMI manufaktur dapat kembali cemerlang apabila pemerintah mengembalikan kebijakan yang pro industri.

"Posisi sektor manufaktur sudah sangat sulit karena kondisi global, termasuk logistik, sangat tidak menguntungkan bagi sektor ini. Oleh sebab itu, para menteri jangan mengeluarkan kebijakan yang justru semakin membunuh industri," ujarnya.

Tren penurunan PMI manufaktur telah berlangsung sejak Peraturan Menteri Perdagangan No 8/2024 tentang Perubahan Ketiga atas Peraturan Menteri Perdagangan No 36/2023 tentang Kebijakan dan Pengaturan Impor pada Mei 2024.

Berturut-turut PMI manufaktur pada Mei-Juli 2024 terus menurun bila dibandingkan dengan PMI manufaktur April 2024 (sebelum pemberlakuan relaksasi impor).

Pada April 2024, PMI manufaktur mencapai 52,9, kemudian turun menjadi 52,1 pada Mei 2024, lalu menjadi 50,7 pada Juni 2024, dan 49,3 di Juli 2024.

Dalam hal ini, hasil survei PMI manufaktur Juli 2024 dinilai dapat membuka mata para menteri dan pemangku kepentingan akan perlunya keselarasan langkah dan pandangan dalam membangun industri dalam negeri.

"Kemenperin tidak bisa sendiri dalam hal ini. Menjaga kinerja sektor manufaktur bukan saja untuk mempertahankan agar nilai tambah tetap dihasilkan di dalam negeri, namun juga melindungi tersedianya lapangan kerja bagi rakyat Indonesia," tuturnya.

Pengetatan Impor

Executive Director Celios Bhima Yudhistira menilai pengetatan keran impor barang jadi serta guyuran insentif mendesak dilakukan untuk mendorong industri manufaktur kembali bergairah.

"Yang paling mendesak segera perketat keran impor barang jadi yang memiliki subsitusi lokal, berikan lebih banyak insentif ke industri yang padat karya khususnya tekstil pakaian jadi dan alas kaki," kata Bhima kepada Bisnis, Kamis (1/8/2024).

Bhima menerangkan, kontraksi PMI manufaktur salah satunya ditengarai adanya inkonsistensi kebijakan impor barang jadi atau produk hilir. Terlebih, aturan terakhir melalui Peraturan Menteri (Permendag) No. 8/2024 justru memberikan relaksasi impor.

Kondisi tersebut menyebabkan persaingan industri di dalam negeri makin ketat dengan barang impor. Sementara itu, kondisi permintaan konsumen dalam fase melambat dan ditambah banjir barang impor.

Selain itu, kondisi manufaktur nasional juga tertekan lantaran permintaan kelas menengah khususnya di perkotaan turun dikarenakan berbagai tekanan naiknya harga kebutuhan pokok, biaya pendidikan, dan perumahan serta tingginya suku bunga pinjaman.

"Akibatnya permintaan industri tergerus, apalagi momentum kenaikan musiman konsumsi rumah tangga baru menunggu libur panjang natal dan tahun baru. Jadi pelaku usaha juga antisipasi dengan mengurangi pembelian bahan baku," tuturnya.

Apalagi, pada masa-masa transisi pemerintahan juga memengaruhi keputusan ekspansi industri. Dalam hal ini, Bhima menekankan pentingnya menjaga ekspektasi masyarakat terutama soal alokasi APBN 2025 terkait bansos dan subsidi.

Pemerintahan ke depan juga diharapkan dapat lebih banyak diisi oleh profesional yang memang bergelut di bidang industri, keuangan dan investasi.

Dihubungi terpisah, Executive Director Center of Reform on Economics (Core) Mohammad Faisal mengatakan, ada berbagai faktor dari hulu ke hilir yang menekan indeks PMI manufaktur saat ini.

"Dari hulu, biaya atau belanja produksi itu cenderung mengalami peningkatan terus, sementara dari sisi penjualan di hilir ini banyak mengalami keterbatasan, baik di pasar domestik maupun ekspor," terangnya.

Faisal menerangkan, apabila dilihat dari indeks harga produsen saat ini relatif lebih tinggi dibandingkan dengan indeks harga konsumen. Artinya, produsen tengah berupaya menahan kenaikan harga di tengah peningkatan biaya produksi.

Di samping itu terdapat masalah faktor persaingan dengan barang impor untuk beberapa jenis produk manufaktur seperti tekstil, produk tekstil, alas kaki, keramik, dan lainnya.

"Pemerintah perlu memberikan perhatian ekstra terhadap industri manufaktur nasional, kalau tadi indikatornya selain PMI sudah negatif, sekarang PMI sebelumnya positif, sekarang sudah masuk ke zona negatif," pungkasnya.

Faktor Eksternal

Sementara itu, Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia membeberkan kondisi dunia usaha yang mengalami banyak tekanan eksternal sehingga membuat PMI manufaktur Indonesia terkontraksi ke level 49,3 pada Juli 2024. 

Wakil Ketua Umum Kadin Yukki Nugrahawan Hanafi mengatakan, kondisi tersebut cenderung dipengaruhi situasi tantangan eksternal geopolitik dan era suku bunga tinggi menjadi faktor sehingga permintaan melemah.

"Kami menggarisbawahi bahwa situasi PMI manufaktur saat ini disebabkan oleh tekanan eksternal dibandingkan disebabkan oleh fundamental perekonomian domestik," kata Yukki kepada Bisnis, Kamis (1/8/2024). 

Halaman
  1. 1
  2. 2

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper