Bisnis.com, JAKARTA - Presiden Joko Widodo (Jokowi) resmi merilis aturan baru yang menjadi payung hukum pendistribusian wilayah izin usaha pertambangan khusus (WIUPK) untuk badan usaha milik organisasi kemasyarakatan (ormas) keagamaan. Langkah ini menuai kritik dari sejumlah pihak lantaran ormas dinilai tidak memiliki kapabilitas mengelola tambang.
Ketentuan distribusi izin tambang untuk ormas keagamaan tertuang dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 76 Tahun 2024 tentang Perubahan Atas Perpres Nomor 70 Tahun 2023 tentang Pengalokasian Lahan Bagi Penataan Investasi yang diundangkan pada 22 Juli 2024.
Perpres tersebut mengatur terkait penawaran secara prioritas WIUPK yang berasal dari eks perjanjian karya pengusahaan pertambangan batu bara (PKP2B) kepada badan usaha yang dimiliki oleh ormas keagamaan.
Ormas Keagamaan yang dimaksud harus memenuhi kriteria sebagaimana izin usaha serta memiliki organ yang menjalankan kegiatan ekonomi serta bertujuan pada pemberdayaan ekonomi anggota dan kesejahteraan masyarakat.
Adapun, badan usaha milik ormas mengajukan permohonan IUPK melalui sistem Sistem Online Single Submission (OSS). Penetapan, penawaran, dan pemberian WIUPK dilakukan oleh menteri/kepala badan yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang investasi/koordinasi penanaman modal selaku ketua Satuan Tugas Penataan Penggunaan Lahan dan Penataan Investasi.
IUPK sebagaimana dimaksud dan/atau kepemilikan saham ormas keagamaan pada badan usaha sebagaimana dimaksud tidak dapat dipindahtangankan dan/atau dialihkan tanpa persetujuan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang energi dan sumber daya mineral.
Baca Juga
Kepemilikan saham ormas keagamaan dalam badan usaha yang mengelola WIUPK harus mayoritas dan menjadi pengendali. Badan usaha tersebut juga dilarang bekerjasama dengan pemegang PKP2B sebelumnya dan/atau afiliasinya.
Dalam perkembangan terakhir, diketahui baru Nahdlatul Ulama (NU) yang melakukan komunikasi aktif terkait izin tambang dengan pemerintah. Rencananya, pemerintah akan memberikan IUPK bekas penciutan lahan PT Kaltim Prima Coal (KPC) kepada NU.
Diberitakan sebelumnya, Menteri Investasi/Kepala BKPM Bahlil Lahadalia menyebut, setelah pihak NU mengajukan permohonan untuk mengelola pertambangan, pemerintah mengkaji terkait persyaratan dan kemampuan dari NU.
“Dan kita sudah memutuskan untuk PBNU kita akan mengalokasikan eks PKP2B [perjanjian karya pengusahaan pertambangan batu bara] dari KPC,” kata Bahlil saat ditemui di Komplek Parlemen Senayan, Selasa (11/6/2024).
Adapun, Bahlil mengatakan bahwa setiap ormas keagamaan yang mengajukan izin untuk mengelola wilayah izin usaha pertambangan bakal diverifikasi oleh pemerintah dan akan ditentukan lahan mana yang akan diberikan.
Namun, sebelum ke tahap penentuan lahan, Bahlil menuturkan, pemerintah akan selektif dalam mengeluarkan izin tersebut.
Pemerintah akan memastikan ormas tersebut memiliki badan usaha yang mayoritas sahamnya dimiliki dan dikendalikan oleh ormas tersebut. Hal itu dilakukan, kata Bahlil, guna mencegah adanya pemindahtanganan IUPK ke pihak lainnya di luar ormas keagamaan.
“Pengelolaannya harus profesional, harus betul-betul bisa memberikan income kepada badan usaha milik organisasi masyarakat keagamaan untuk menunjang program-program sosialnya,” ucapnya.
Menciderai Persaingan Usaha yang Sehat
Keputusan Jokowi menerbitkan Perpres distribusi izin tambang kepada ormas keagamaan dinilai menciderai aspek persaingan usaha yang sehat.
Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira menilai kebijakan itu secara jelas memberikan motif terhadap rasa balas jasa politik dari pemerintah.
“Kerugiannya praktik pertambangan yang bermasalah dan dicabut IUP-nya bisa hidup lagi mendompleng legalitas ormas. Pembagian IUP yang dicabut sebaiknya hanya untuk reklamasi atau pada bidang jasa pemulihan lingkungan. Jadi bukan untuk melanjutkan eksploitasi tambang,” tuturnya kepada Bisnis, Selasa (23/7/2024).
Lebih lanjut, dia menilai ada aturan yang cukup baik apabila badan usaha swasta termasuk badan usaha milik ormas keagaamaan tetap harus melalui lelang sehingga ormas tak bisa secara langsung untuk mengelola tambang.
Namun, kata Bhima, pemerintah memang harus cermat dalam menentukan ormas keagamaan yang memang memiliki kapabilitas dalam mengelola pertambangan.
“Soal perpres baru yang memberikan izin pengelolaan tambang yang sebelumnya izin dicabut, makin problematis. Ormas bisa saja hanya dijadikan sebagai nominee agar perusahaan yang izin tambangnya dicabut tetap bisa beroperasi. Apalagi ormas keagamaan tidak memiliki pengalaman dalam mengelola tambang,” tandas Bhima
Kritik juga datang dari ormas keagamaan Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI). Ketua PGI Pendeta Albertus Patty menekankan bahwa pihaknya menyayangkan langkah pemerintah yang meneken Perpres No. 76/2024.
Menurutnya, selama ini institusi PGI bersama dengan Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) secara tegas terus menolak distribusi izin tambang yang bakal diberikan kepada ormas keagamaan.
Penyebabnya, kata Patty, secara profesionalitas ormas keagamaan tidak memiliki keterampilan dalam mengelola urusan pertambangan sehingga akan sulit untuk mewujudkan tujuan pemerintah untuk memajukan industri.
“Institusi agama tidak punya profesionalisme dalam pengelolaan IUP itu. Tugas institusi agama adalah meningkatkan iman, ketakwaan dan integritas umat di tengah berbagai tantangan hidup. Usaha pertambangan adalah bidangnya perusahan yg profesional di bidangnya,” ujarnya kepada Bisnis, Selasa (23/7/2024).
Gratifikasi IUP dari pemerintah, kata Patty, menjadi alasan lain dari penolakan PGI. Menurutnya, meskipun konsesi tambang terlihat menguntungkan tetapi berpotensi menghilangkan daya kritis dan memendam suara kenabian institusi agama terhadap pemerintah.
Dia melanjutkan bahwa institusi agama yang punya kecenderungan bergantung pada fasilitas pemerintah akan menjadi institusi agama yang manja dan akan sulit baginya menjaga integritas dan kemandiriannya.
Bahkan, dia mengatakan bahwa sangat jelas pertambangan batu bara itu memperparah lingkungan hidup sudah rusak. Misalnya, ada ragam kerugian yang berpotensi terjadi seperti menghancurkan hutan, merugikan ekosistem lain seperti berbagai jenis binatang, termasuk menyingkirkan penduduk lokal dari tanah kelahirannya sendiri.
“Di tengah kerusakan dan hancurnya ekosistem dan lingkungan hidup seharusnya institusi agama memberi masukkan agar pemerintah dan sektor bisnis nelakukan akuh teknologi dengan mengutamakan teknologi yang ramah lingkungan. Bukan malah ikut-ikutan menghancurkan bumi,” pungkas Patty.
NU Sambut Baik
Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Ulil Abshar Abdalla (Gus Ulil) menyambut penerbitan Perpres Nomor 76 Tahun 2024.
Dia mengatakan, aturan yang diteken Presiden Jokowi itu akan memberikan kemaslahatan bagi warga negara. Khususnya bagi ormas keagamaan.