Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Author

Maulana Yusran

Sekretaris Jenderal PHRI

Lihat artikel saya lainnya

OPINI : Waktunya Tata Aturan Pajak, Setelah Blokir OTA Asing

Di tengah lambatnya pemulihan sektor pariwisata muncul fenomena besar terkait pelaku usaha digital asing membuat industri pariwisata dalam negeri tak bergairah.
Pantai Segara Sari Manggar/Dinas Pariwisata Kaltim
Pantai Segara Sari Manggar/Dinas Pariwisata Kaltim

Bisnis.com, JAKARTA - Pariwisata merupakan salah satu penopang perekonomian Indonesia, di mana industri pariwisata menyumbang Rp786,3 triliun (2019). Namun, selama masa pandemi, industri mengalami penurunan signifikan menjadi Rp346 triliun (2020) dan sampai saat ini pun masih belum pulih. Hal ini terlihat dari tingkat okupansi tahun 2023 yang masih di angka 56%.

Oleh karenanya, beberapa dukungan pemerintah dirasa masih diperlukan demi pemulihan pariwisata dalam negeri, khususnya untuk restrukturisasi kredit serta insentif pajak.

Di tengah lambatnya pemulihan sektor pariwisata muncul fenomena besar terkait pelaku usaha digital asing yang membuat industri pariwisata dalam negeri tak bergairah. Seperti aplikasi digital sharing economy yang menggerogoti pasar nasional, dan juga persoalan online travel agent (OTA) asing yang membebani perpajakan pelaku usaha pariwisata, khususnya perhotelan.

Menjawab artikel di Bisnis Indonesia pada Senin, 18 Maret 2024, tentang Dilema Pemblokiran Aplikasi Asing yang mengatakan tindakan pemblokiran OTA asing akan merugikan konsumen, baik lokal dan mancanegara, telah menggugah banyak perhatian. Dengan tulisan yang menempatkan pelaku industri perhotelan pada kondisi sudah jatuh tertimpa tangga.

Hal ini bermula dari Rapat Kerja Nasional (Rakernas) IV PHRI Tahun 2024 di Batam pada 22 Februari silam, di mana para anggota mengungkapkan keberatan terhadap praktik-praktik yang merugikan dari OTA asing. Mulai dari pembebanan pajak hingga penetapan harga jual.

Sebagai respons, tuntutan dibuat untuk mengatur kebijakan pelaku usaha digital asing yang beroperasi di Indonesia, dengan mewajibkan mereka agar memiliki badan usaha berbadan hukum atau badan usaha tetap (BUT), sehingga dapat mengikuti peraturan perundang-undangan yang berlaku di dalam negeri.

Dalam konteks pajak, hotel-hotel merasa dirugikan karena OTA asing tidak mematuhi aturan perpajakan yang berlaku di Indonesia. Sesuai yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), akomodasi perjalanan dikenakan pajak pertambahan nilai (PPN) 11%.

Sebaliknya, OTA asing justru membebankan pajak ini ke pihak hotel, mengabaikan kewajiban mereka sebagai wajib pajak. Permasalahan ini bukan sekadar masalah tidak mendaftar sebagai Penyelenggara Sistem Elektronik (PSE), tetapi juga menyangkut masalah lebih besar, berkaitan dengan pendapatan pajak negara yang tergerus.

Dalam praktiknya, OTA asing membebankan pajak komisi kepada hotel yang seharusnya dibayarkan mereka. Misalnya, konsumen memesan kamar hotel dengan harga Rp1 juta, komisi OTA 18%=Rp180.000, harusnya itu dikenakan PPN 11%, tetapi faktanya, pajak atas komisi yang diterima OTA asing itu justru dibebankan ke hotel.

Pembiaran praktik OTA asing yang tidak taat peraturan dan perundangan yang berlaku di Indonesia karena tidak memiliki BUT adalah bentuk ketidakadilan penerapan hukum bagi pelaku usaha hotel dalam negeri yang juga berdampak kerugian.

Selain pelaku usaha hotel, ketidakadilan dan kerugian tersebut juga dirasakan oleh pelaku usaha lokal yang taat peraturan perundangan; pemerintah yang seharusnya mendapatkan pajak atas penjualan oleh OTA asing; Konsumen yang melakukan reservasi melalui OTA asing yang seharusnya mendapatkan perlindungan berpotensi dirugikan karena tidak mendapatkan pelayanan yang seharusnya pada saat terjadi masalah dalam reservasi tersebut sebagai akibat tidak adanya kantor OTA asing tersebut di Indonesia.

PHRI telah menyampaikan permasalahan ini ke Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak Kementerian Keuangan pada 2017. Namun, sampai saat ini belum mendapatkan respon yang berarti atas masalah OTA asing tersebut.

Jika melihat negara-negara lain yang sangat ketat dalam mengawasi keberadaan OTA asing. Indonesia justru membiarkan mereka tumbuh tanpa mengikuti peraturan perundang-undangan yang berlaku, hal ini menjadi pertanyaan besar bagi pelaku usaha dalam negeri, di mana letak keadilannya?

Upaya Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) yang sangat cepat mengambil sikap tegas sesuai kewenangan yang dimilikinya atas permasalahan OTA asing tersebut patut diapresiasi. OTA asing yang tidak taat aturan yang berlaku di Indonesia diberikan surat peringatan agar segera mendaftar PSE dan jika tidak mendaftar, maka tindakan pemblokiran akan dilakukan.

Meskipun demikian, hal ini harus diiringi dengan langkah-langkah yang lebih proaktif dalam mengatur dan mengawasi kegiatan OTA asing di Indonesia. Selain mendaftar sebagai PSE, pemerintah juga perlu mewajibkan OTA asing yang beroperasi memiliki BUT di Indonesia.

Ini penting dilakukan agar memberikan kepastian hukum kepada semua pihak sehingga menciptakan iklim persaingan usaha yang sehat. Tidak hanya demi transparansi pajak, hal ini juga demi melindungi konsumen. Pasalnya, seringkali konsumen sulit melakukan komplain karena OTA asing tidak memiliki kantor tetap di dalam negeri.

Hal ini penting, apalagi pajak dari transaksi digital merupakan salah satu sumber pendapatan negara, tentu tidak boleh dilewatkan begitu saja. Dalam hal PPN, nilai pajak yang dapat difasilitasi melalui transaksi OTA asing dapat mencapai sekitar Rp3,18 triliun. Belum lagi potensi kerugian dari pembebanan pajak komisi 1,1% dari OTA asing kepada hotel sebesar Rp318,67 miliar.

Dengan adanya penegakan Permenkominfo 5/2020, OTA asing akan terdata secara resmi dan harus memenuhi kewajiban pajak mereka. Melalui aturan ini juga dapat menekan OTA asing untuk melakukan promosi besar-besaran atau jual murah, karena mereka harus mengikuti regulasi yang ada. Mereka tidak bisa semena-mena menetapkan harga, dengan menjual harga kamar lebih rendah dari aslinya yang merugikan pihak hotel.

Misal harga jual kamar Rp500.000 dijual Rp 250.000, alhasil hotel yang dirugikan karena tidak ada pemberitahuan resmi kepada hotel. Penetapan harga jual lebih rendah ini juga merupakan model predatory pricing yang membuat iklim persaingan usaha tidak sehat bagi pelaku usaha digital dalam negeri.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Maulana Yusran
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper